Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Saudaraku sesama muslim, puasa Ramadhan adalah salah satu rukun Islam. Ibadah ini mulai diwajibkan pada tahun ke-2 Hijriah, sehingga Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—sempat berpuasa selama 9 kali bulan Ramadhan.
Puasa Ramadhan menjadi wajib dengan dilakukannya salah satu dari dua metode: Pertama, melihat hilal Ramadhan (ru'yah). Kedua, menyempurnakan bulan Sya`ban menjadi 30 hari. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah ketika kalian melihatnya. Jika (hilal itu) tertutup dari pandangan kalian, maka sempurnakanlah Sya`ban menjadi tiga puluh hari." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa." [QS. Al-Baqarah: 183]
Ibnu Katsir—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Dalam ayat ini, Allah—Subhânahu wata`âlâ—menyeru orang-orang yang beriman, serta memerintahkan mereka untuk berpuasa, yaitu menahan diri dari makan, minum, dan jimak (hubungan suami istri), dengan niat yang ikhlas karena Allah—`Azza wajalla, karena ibadah ini mengandung formula kesucian diri serta pembersihannya dari sifat-sifat buruk. Allah juga menyebutkan, di samping diwajibkan atas mereka, puasa juga sudah diwajibkan kepada orang-orang sebelum mereka, sehingga bisa menjadi teladan bagi mereka. Hendaklah mereka bersungguh-sungguh dalam melaksanakan kewajiban ini, lebih sempurna dari yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu itu. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): 'Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan (syariat) dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja). Tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan…' [QS. Al-Mâ'idah: 48]. Karena itu, di sini, Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): 'Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.' [QS. Al-Baqarah: 183]. Karena puasa mengandung formula penyucian diri dan penyempitan terhadap jalan-jalan Syetan. Makanya Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, 'Wahai sekalian pemuda, barang siapa di antara kalian yang sanggup menanggung beban nikah, hendaklah menikah. Barang siapa yang belum sanggup, hendaklah ia berpuasa. Sesungguhnya puasa itu baginya adalah perisai.' [HR. Al-Bukâri dan Muslim]. [Tafsir Ibnu Katsir]
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, diceritakan bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Setiap amal anak Adam (manusia) adalah untuknya; satu kebaikan diberi ganjaran sepuluh kali lipat, sampai tujuh ratus kali lipat. Allah—`Azza wajalla—berfirman (yang artinya): 'Kecuali puasa. Sesungguhnya puasa adalah milik-Ku, dan Aku akan membalasnya. Ia meninggalkan syahwatnya, makan dan minumnya karena-Ku'. Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: satu kebahagiaan ketika ia berbuka dan satu kebahagiaan lagi ketika ia bertemu dengan Tuhannya. Dan sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari aroma kesturi." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Hadits ini menunjukkan bahwa semua amal kebaikan dilipatgandakan pahalanya antara sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa. Sesungguhnya ganjaran pahala puasa tidak terbatas hanya pada bilangan ini saja, akan tetapi Allah—`Azza wajalla—membalasnya "Setiap am
dengan kelipatan yang tak terbatas. Apalagi puasa termasuk bentuk kesabaran. Dan mengenai pahala sabar, Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dipenuhi pahala mereka tanpa batas." [QS. Az-Zumar: 10]
Imam Al-Auza`i berkata, "Pahala untuk mereka tidak ditimbang ataupun ditakar, akan tetapi (ibarat) diciduk (dengan gayung)." Ibnu Juraij berkata, "Saya diberitahu, bahwa bagi mereka yang berpuasa, tidak hanya pahala amal mereka saja yang dihisab, akan tetapi dilebihkan dari itu."
Sebuah hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang menjaga kesuciannya niscaya Allah akan menyucikannya. Barang siapa yang merasa cukup (dengan karunia Allah) niscaya Allah akan membuatnya kaya. Barang siapa yang menahan kesabaran niscaya Allah menyabarkannya. Dan tidaklah seseorang dikaruniai sesuatu yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran." [Al-Bukhâri dan Muslim]
Kesabaran ada tiga macam:
· Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah. Hal ini ada dalam puasa, karena di dalamnya dituntut kesabaran dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah;
· Sabar dalam meninggalkan larangan Allah. Hal ini pun didapatkan oleh orang yang berpuasa, jika ia bersabar dalam menjauhi perkara yang diharamkan Allah ketika berpuasa;
· Sabar dalam menerima takdir Allah yang menyakitkan. Hal ini pun didapatkan oleh orang yang berpuasa, jika ia bersabar menahan sakitnya rasa lapar dan dahaga, serta lemahnya jiwa dan raganya di siang hari. Rasa sakit atau derita yang diakibatkan karena menjalankan ketaatan ini akan mendatangkan pahala bagi seorang muslim, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—tentang para mujahid (yang artinya): "…yang demikian itu, karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan di jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shalih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik." [QS. At-Taubah: 120]
Sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Jika datang bulan Ramadhan, maka pintu-pintu langit dibuka, pintu-pintu Jahanam dikunci, dan Syetan-syetan dibelenggu." Hal itu dikarenakan pada bulan Ramadhan hati bergairah melakukan kebaikan dan amal shalih yang membuat pintu Surga terbuka. Sebaliknya, seorang muslim juga terbiasa menghindari kejahatan yang memang membuat pintu Neraka Jahanam dibuka. Syetan dibelenggu sehingga mereka tidak mampu melakukan apa yang mereka lakukan ketika manusia tidak berpuasa. Karena mereka bisa memperdaya manusia karena syahwat. Jika manusia meninggalkan syahwat, maka Syetan-Syetan itu pun terbelenggu, atau kemampuan mereka menjadi berkurang untuk menyesatkan manusia pada bulan ini, dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Ada yang mengatakan, yang dibelenggu hanyalah Syetan-syetan pembangkang saja. Dan itu benar, karena ada hadits yang menguatkannya.
Sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Hâzim, dari Sahal—Semoga Allah meridhainya, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sesungguhnya di Surga terdapat pintu yang dinamakan dengan pintu Ar-Rayyân, tempat masuk orang-orang berpuasa pada hari Kiamat kelak. Tidak ada yang masuk melalui pintu itu selain mereka. Ketika itu diserukan: 'Mana orang-orang yang biasa berpuasa?' Maka mereka pun berdiri. Tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu itu selain mereka. Jika mereka telah masuk, pintu itu pun ditutup, sehingga tidak ada orang lain yang bisa masuk melaluinya." Ini berdasarkan redaksi Al-Bukhâri—Semoga Allah merahmatinya. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim, dan ini adalah lafaz menurut riwayat Imam Al-Bukhâri]
Imam Az-Zuhri meriwayatkan sebuah hadits dari Humaid ibnu Abdurrahman, dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya—bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa menginfakkan sepasang infak di jalan Allah, maka ia akan diseru dari pintu-pintu Surga: 'Wahai hamba Allah, ini adalah kebaikan'. Barang siapa yang termasuk ahli shalat (senantiasa melakukan shalat), maka ia pun akan diseru dari pintu shalat. Barang siapa yang termasuk ahli jihad (senantiasa berjihad), akan diseru pula dari pintu jihad. Barang siapa yang termasuk ahli puasa (rajin berpuasa), akan dipanggil dari pintu Ar-Rayyân. Dan barang siapa yang termasuk ahli sedekah (suka bersedekah) akan dipanggil dari pintu sedekah." Abu Bakar—Semoga Allah meridhainya—ketika itu berkata, "Wahai Rasulullah, orang yang dipanggil dari semua pintu-pintu itu pasti tidak akan mendapat bahaya apa-apa. Apakah ada orang yang dipanggil dari semua pintu itu?" Rasululllah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: "Iya, ada. Dan aku berharap engkau termasuk salah seorang dari mereka." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim, dan ini adalah lafaz menurut riwayat Al-Bukhâri]
Surga memiliki delapan buah pintu. Pintu-pintu itu berukuran luas. Dalam Shahîh Al-Bukhari diriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya jarak antara dua tiang pintu Surga seperti jarak antara Mekah dengan Hajr." [HR. Al-Bukhâri]
Sedangkan dalam hadits yang diriwayakan dalam kitab Al-Musnad dengan sanad yang shahîh, disebutkan: "Jarak antara dua tiang pintu Surga seperti jarak perjalanan empat puluh tahun. Dan sungguh akan datang suatu hari di mana ia akan merintih (karena padatnya orang yang masuk ke sana)." [HR. Ahmad]
Wallâhu a`lam
[Penulis: Umar ibnu Abdillah ibnu 'Âtiq Al-Harbi]