Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga dan para shahabat beliau.
I`tikaf artinya berdiam di mesjid dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ. Hukumnya adalah sunnah. Dalilnya, firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Janganlah kalian campuri mereka (istri-istri kalian), sedangkan kalian sedang beri'tikaf di dalam mesjid…" [QS. Al-Baqarah: 187]
Ayat ini menjadi dalil tentang disyariatankannya i`tikaf, dan bahwa i`tikaf tidak sah dilakukan selain di mesjid. Sebagaimana juga ayat ini menegaskan keharaman menggauli wanita (hubungan badan) ketika seseorang sedang beri`tikaf.
Sedangkan dalilnya dari Sunnah, terdapat banyak hadits Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—tentang masalah ini. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari 'Aisyah—Semoga Allah meridhainya, bahwa ia berkata, "Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—melakukan i`tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan sampai beliau wafat. Kemudian para istri beliau juga melakukan i`tikaf setelah beliau wafat." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Sebuah hadits shahîh juga diriwayatkan dari Abdullah ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—melakukan i`tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhân. Nâfi` berkata, "Abdullah menunjukkan kepadaku tempat di mana Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—melakukan i`tikaf di dalam mesjid." [HR. Muslim]
Hadits shahîh yang lain juga diriwayatkan dari salah seorang istri Rasulullah, Shafiyyah—Semoga Allah meridhainya, bahwa ia pernah datang ke tempat Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—untuk mengunjungi beliau yang sedang beri`tikaf di Mesjid pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Ia berbicara dengan beliau selama beberapa saat, lalu berdiri untuk kembali. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—pun berdiri menemaninya pulang. Ketika sampai di pintu Mesjid, tepatnya di pintu Ummu Salamah, tiba-tiba dua orang Anshar lewat. Mereka mengucapkan salam kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Beliau bersabda kepada mereka, "Jangan kalian terburu-buru. Ini adalah Shafiyah bintu Huyay." Mereka berkata, "Subhânallâh! Wahai Rasulullah?! (Mana mungkin kami berburuk sangka kepada Anda)." Mereka merasa berat (tidak enak hati) mendengar sabda Nabi tersebut. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—pun lalu bersabda kepada mereka, "Sesungguhnya Syetan mengalir dalam diri manusia seperti mengalirnya darah. Dan aku khawatir Syetan meniupkan sesuatu ke dalam hati kalian." [HR. Al-Bukhâri]
Masih dalam Shahîh Al-Bukhâri, juga diriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya—bahwa ia berkata, "Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—melakukan i`tikaf setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Sedangkan pada tahun beliau diwafatkan, beliau melakukan i`tikaf selama dua puluh hari." [HR. Al-Bukhâri]
I`tikaf boleh dilakukan di mesjid mana saja, berdasarkan keumuman makna nas-nas yang berbicara tentang masalah ini. Akan tetapi i`tikaf di mesjid yang tiga: Masjidil Haram, Mesjid An-Nabawi, dan Mesjid Al-Aqsha, lebih utama daripada i`tikaf di mesjid-mesjid lain, sebagaimana shalat di ketiga mesjid ini lebih utama daripada shalat di mesjid yang lain.
Barang siapa yang ingin melakukan i`tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, ia harus berada di tempat i`tikafnya sebelum matahari tenggelam pada malam tanggal 21 Ramadhan, lalu keluar dari sana setelah matahari tenggelam pada malam Hari Raya. I`tikaf menjadi batal jika yang bersangkutan keluar dari mesjid tanpa uzur (halangan). Karena dalam Shahîh Al-Bukhari dan Muslim terdapat riwayat yang menyatakan bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—tidak masuk ke rumah beliau (ketika beri'tikaf) kecuali untuk keperluan darurat (seperti buang air kecil dan buang air besar) saja. I`tikaf juga batal bila ada "niat keluar dari i`tikaf", meskipun yang bersangkutan tidak keluar dari mesjid. Hal itu sebagaimana yang dijelaskan dalam keumuman makna hadits: "Sesungguhnya setiap amal tergantung kepada niatnya." Selain itu, i`tikaf juga batal karena melakukan jimak (hubungan suami istri), sebagaimana disinyalir dalam firman Allah (yang artinya): "Dan janganlah kalian mencampuri mereka (istri-istri kalian) sedangkan kalian sedang beri`tikaf di dalam mesjid." [QS. Al-Baqarah: 187]. Karena larangan yang berkaitan langsung dengan zat (inti) suatu ibadah menunjukkan bahwa ibadah itu menjadi rusak jika larangan tersebut dilanggar.
I`tikaf juga batal karena murtad, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Jika engkau mempersekutukan (Tuhan) niscaya akan sirnalah amalmu." [QS. Az-Zumar: 65]. Sebagaimana i`tikaf juga menjadi batal karena mabuk, karena orang yang mabuk tidak termasuk ahli mesjid.
Seorang yang sedang melakukan i`tikaf boleh bertanya tentang orang yang sakit atau yang lain di tengah jalan, tapi tidak boleh berhenti untuk bertanya. Hal itu sebagaimana terdapat dalam perkataan 'Aisyah—Semoga Allah meridhainya, "Ada kalanya aku masuk ke dalam rumah (ketika sedang beri'tikaf) karena ada keperluan, sementara di dalamnya ada orang yang sakit, maka aku tidak bertanya tentangnya kecuali sambil berjalan." [HR. Muslim]
I`tikaf disunnahkan untuk diselenggarakan sesuai dengan tujuan pensyariatannya, yakni seorang muslim berdiam di mesjid untuk melakukan ketaatan, seperti shalat, zikir, dan sebagainya, serta memusatkan diri untuk beribadah, meninggalkan urusan dunia, dan melaksanakan berbagai ketaatan.
Semoga Allah menerima amal-amal kita, menjadikannya sebagai amal yang ikhlas dan sesuai dengan sunnah Nabi-Nya—Shallallâhu `alaihi wasallam, serta menerima puasa dan shalat kita di bulan Ramadhan.
[Penulis: Umar ibnu Abdillah ibnu 'Âtiq Al-Harbi]