Oleh: Muhammad ibnu Musa Asy-Syarîf
Kita berada di bulan yang di dalamnya terdapat banyak kebaikan dan keberkahan. Pujian terhadap keagungan bulan ini berulang kali kita temukan di dalam Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Bulan ini merupakan bulan Al-Quran, bulan kebaikan, dan bulan tempat kembalinya para hamba kepada Allah dalam fenomena keimanan yang istimewa dan tiada duanya.
Bulan ini telah diberi keistimewaan yang tidak terdapat dalam bulan-bulan lain, berupa sepuluh hari terakhirnya yang penuh berkah. Hari-hari yang di dalamnya Allah membebaskan para hamba-Nya dari api Neraka. Saat ini, kita berada di sepuluh hari yang penuh berkah itu. Tentu sudah sepatutnya kita memanfaatkan momen ini semaksimal mungkin dengan beberapa cara berikut ini:
o Melakukan iktikaf di Masjidil Haram atau Mesjid Nabawi, atau di mesjid mana pun jika tidak dapat melakukannya di Tanah Suci. Karena iktikaf sangat penting untuk membawa seseorang hamba kembali kepada Tuhannya, sekaligus untuk berhenti sejenak dari berbagai kesibukannya yang hampir tidak ada habis. Ketika seorang hamba ber-iktikaf, ia otomatis harus berhenti dari tumpukan kesibukannya. Dan ini adalah fakta yang dapat kita lihat dengan sangat jelas. Namun jika seseorang tidak mampu melakukan iktikaf secara penuh, ia dapat melakukannya beberapa waktu saja di mesjid mana pun.
o Menghidupkan seluruh atau sebagian besar waktu malam dengan melakukan shalat dan zikir. Karena ketika memasuki sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—biasa membangunkan keluarga beliau, menghidupkan malam, dan tidak menggauli istri-istri beliau. Sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan ini merupakan kesempatan besar bagi orang yang terbiasa sibuk dalam urusan kehidupannya—dan ini merupakan kondisi kebanyakan orang, serta biasanya tidak mampu bangun malam untuk beribadah. Bila keadaannya demikian, maka paling tidak, seseorang harus berupaya memperbanyak ibadah menghidupkan malam-malam sepuluh hari terakhir ini. Anehnya, sebagian orang shalih yang berada di Tanah Suci hanya melakukan shalat Tarawih delapan rakaat dengan bersandarkan pada beberapa dalil. Mereka lupa dengan realita bahwa para shahabat dan kalangan salaf melakukan shalat Tarawih yang panjang dengan banyak rakaat. Dan mereka adalah generasi awal Islam yang lebih memahami Islam dan lebih mampu menunaikan ajaran-ajarannya dengan baik. Kondisi Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—tentu dapat mereka pantau secara langsung, dan mereka jelas lebih mumpuni memaknai dan memahami hadits-hadits Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—secara benar.
o Hendaknya kita tidak lupa bahwa di dalam sepuluh hari terakhir Ramadhan ini terdapat satu malam yang merupakan malam teragung sepanjang tahun, yaitu malam Lailatul Qadar yang lebih baik daripada seribu malam. Artinya, beribadah pada malam itu lebih baik daripada beribadah selama 84 tahun dengan sungguh-sungguh dan tiada berhenti. Sungguh ini merupakan anugerah Allah yang luar biasa. Apabila seseorang gagal mendapatkannya berarti telah kehilangan kebaikan yang tiada terhingga banyaknya. Orang yang melalaikannya berarti melalaikan sesuatu yang agung. Mayoritas ulama sepakat bahwa malam Lailatul Qadar ini jatuh pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir Ramadhan. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa ia jatuh pada malam kedua puluh tujuh. Bahkan Ubai ibnu Ka`b—Semoga Allah meridhainya—bersumpah bahwa malam Lailatul Qadar jatuh pada malam dua puluh tujuh Ramadhan, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahîh Muslim.
o Banyak membaca Al-Quran, merenunginya, dan memahaminya, serta memperbanyak zikir. Karena tidak diragukan lagi bahwa hari-hari ini merupakan saat yang tepat untuk melakukan itu semua.
o Anehnya, dengan keutamaan dan pahala yang luar biasa ini, sebagian orang justru sengaja menghabiskan waktu liburan mereka di sepuluh hari terakhir ini di luar negeri, sehingga mereka pun kehilangan kebaikan tiada tara. Tentunya yang mereka lakukan di luar negeri sana tidak lebih dari menghabiskan waktu untuk jalan-jalan dan besenang-senang pada waktu yang seharusnya dimanfaatkan hanya untuk beribadah kepada Allah. Sungguh banyak sekali kebaikan yang tidak mereka dapatkan disebabkan perilaku keliru itu, juga akibat lemahnya perhatian mereka terhadap apa yang mereka lakukan. Orang yang berakal adalah orang yang menggunakan kemampuan dan waktunya untuk mengambil faedah semaksimal mungkin dari hari-hari bahagia ini.
o Hendaknya di bulan ini kita juga tidak lupa bahwa kita memiliki saudara-saudara di medan jihad yang dikepung dan diintai oleh para musuh, serta mengalami banyak kesulitan. Tidak selayaknya kita lupa kepada mereka, walau hanya dengan seuntai doa yang tulus dari lubuk hati kita di hadapan Allah—Subhânahu wata`âlâ. Akan lebih baik jika kita menyisihkan sebagian dari harta kita untuk mereka, dan kita sesungguhnya adalah orang pertama yang menerima untung pahala dari pemberian itu. Kita juga tidak boleh lupa kepada para fakir miskin, apalagi hari raya Idul Fitri sebentar lagi tiba.
Semoga Allah memberi taufik dan kemampuan kepada kita untuk memanfaatkan waktu dengan baik di sepuluh hari terakhir Ramadhan ini. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa dan kesalahan kita. Sesungguhnya Dia Mahakuasa melakukan itu semua. Semoga shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga dan seluruh shahabat beliau.