Rangkaian Pengorbanan
Ia laksana lilin. Ia adalah seorang sosok ibunda yang membuatku merasa bangga bila semerbak aroma kasihnya bisa dirasakan melalui untaian kata-kataku. Ia bagaikan lilin, menerangi seluruh anggota keluarganya yang terdiri dari seorang ayah dan tiga orang anak laki-laki: Basim, Aiman, dan Karim. Ia rela menderita demi mereka semua. Ia pernah terserang penyakit, namun tidak pernah sekali pun telinga anak-anak mendengar keluhan atau tangisnya. Meskipun kesakitan, senyum manisnya tidak pernah hilang. Ia memberi dengan penuh cinta dan pengorbanan. Ia mengajar dan membimbing anak-anaknya menghapal Al-Quran.
Ketika tiba saat menerima, sang ibu mengelak dan hanya meminta kebahagiaan dan ketenangan keluarganya. Betapa pun kami berbicara, belum akan mampu benar-benar memenuhi haknya. Semua menjadi saksi betapa ia adalah teladan tentang pengorbanan, sekaligus model untuk seorang ibu yang menanamkan keimanan. Ia menghadiahkan kebahagiaan dan ketenteraman kepada semua. Namun hadiah terindah dan pemberiannya yang paling berharga adalah anak-anak muda itu. Mereka adalah pemberiannya yang mengagumkan. Ia telah mengajari dan menanamkan di dalam diri mereka—dengan perbuatannya sebelum dengan ucapannya—kecintaan untuk berkorban, berderma, dan memberi. Para pemuda itu adalah anak-anak muda terbaik. Karena mereka belajar dari ibunda mereka bahwa berkorban dengan seisi dunia tidak seberapa bila dibandingkan dengan negeri keabadian. Mereka juga belajar bahwa hidup demi membahagiakan orang lain adalah harapan tertinggi dan pemberian yang hakiki.
Satu hari dari hari-hari yang mereka lalui sekarang, dalam keluarga yang penuh berkah—setelah sang ayah yang mulia meninggal dunia dan sang ibunda telah lanjut usia—memberitahukan kepada Anda betapa ketiga anak laki-laki itu telah mereguk jiwa berkorban dan mempelajari seni memberi dengan sangat baik. Sehingga hidup mereka pun menjadi untaian pengorbanan yang sempurna. Lihatlah adegan demi adegan berikut:
- Azan Shubuh berkumandang. Anda tidak akan melihat para pemuda itu kecuali telah menyibakkan selimut dan meninggalkan tempat tidur. Mereka membangunkan sang ibunda dengan sangat lembut dan pelan-pelan. Mereka menyiapkan air wudhuk untuk sang ibunda, lalu menuju rumah Allah (mesjid) untuk menunaikan shalat Shubuh dengan penuh kekhusyukan. Mereka korbankan kenyamanan istirahat mereka demi Allah.
- Ketika kembali ke rumah, mereka tidak kembali ke hangatnya tempat tidur. Mereka melakukan semua pekerjaan rumah dan menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh ibunda tercinta. Disertai ciuman penuh kasih pada tangannya yang pemurah; (ciuman) yang menghapus segenap duka dan menghadirkan segenap kebahagiaan di hati ibunda. Sang ibu pun tidak kuasa menahan diri. Mengalirlah air matanya seraya menengadahkan tangan, memohon kepada Sang Mahakuasa agar senantiasa memberkati anak-anaknya dan membukakan pintu-pintu kebaikan untuk mereka. Mereka korbankan kehangatan tempat tidur demi menyenangkan ibunda, agar Allah meridhai mereka.
- Ketika mereka sudah selesai mengisi waktu pagi, masing-masing berangkat ke sekolah mereka. Mereka berkumpul kembali setelah shalat Ashar dalam kelompok Al-Quran. Ada yang mengajarkan hapalan Al-Quran, ada pula yang hampir mengkhatamkan Al-Quran. Mereka mengorbankan waktu demi Al-Quran.
- Seringkali—sepanjang masa muda dan khususnya masa remaja—kawan-kawan yang buruk ingin menyimpangkan mereka dari jalan yang lurus. Mereka berusaha menghiasi maksiat agar terlihat indah di mata para pemuda itu, dan berupaya meyakinkan para pemuda itu agar mau bersama-sama mereka terjerumus ke dalam lembah maksiat. Apalagi Allah mengaruniakan kepada mereka kekuatan, paras rupawan, dan rasa suka di hati semua orang. Betapa sering maksiat yang sangat diinginkan oleh banyak orang yang tidak mendapatkan nikmat iman ditawarkan kepada para pemuda itu. Namun, semboyan mereka selalu: "Kami berlindung kepada Allah." Mereka korbankan dunia demi Akhirat.
Inilah adegan-adegan singkat. Masih banyak lagi adegan-adegan lain yang tidak bisa disebutkan. Semoga Allah senantiasa memberkati mereka, para pemuda itu. Mereka berjalan dalam kafilah pengorbanan dan penebusan. Teladan mereka adalah Bapak para nabi, Ibrahim, dan putranya, Ismail, sang anak yang berbakti lagi suka memberi—`Alaihimâs salâm.
Beberapa waktu lalu, kita baru saja memperingati "Pengorbanan Luar Biasa" dalam kisah Nabi Ibrahim dan putranya yang taat berbakti, Ismail—`Alaihimâs salâm. Ismail betul-betul telah memberikan contoh terbaik dalam memenuhi titah Tuhannya dan berkorban, bukan dengan hartanya, bukan juga dengan keluarganya, akan tetapi dengan jiwanya. Padahal, ketika itu, ia baru menginjak masa muda. Karenanya, para generasi muda umat ini sudah semestinya berdiri untuk mengekspresikan rasa kagum dan hormat untuk sang pahlawan pengorbanan ini, diikuti oleh tindakan konkrit dan pengorbanan, sebagaimana yang dilakukan putra Ibrahim—`Alaihimâs salâm—itu.
Wahai para pemuda, pada hari yang agung dan penuh berkah ini, Hari Raya Kurban, setiap muslim mengenang kembali adegan pengorbanan dan penebusan yang ditorehkan oleh Nabi Ismail—`Alaihis salâm, anak yang menjadi simbol pengorbanan, yang tumbuh dan berkembang di atas landasan nilai-nilai luhur. Sehingga ia pun menjadi seorang anak muda belia yang menyejukkan mata orang-orang yang melihatnya, selalu menyenangkan ayahnya, dan sama sekali tidak pernah membangkang kepadanya dalam hal apa pun.
Suatu hari, ia dikejutkan oleh perkataan yang dilontarkan kepadanya oleh sang ayahanda. Sebuah untaian kata yang menggambarkan keridhaan atas perintah Allah dan sikap menerima segala ketentuan dan ketetapan-Nya. Hal itu diceritakan dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, 'Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" [QS. Ash-Shâffât: 102]
Dan keluarlah jawaban dari mulut sang anak yang taat berbakti itu, untuk menyempurnakan potongan terakhir dari senandung kalimat pengorbanan dan penebusan yang diajarkan sang ayahanda kepadanya. Ismail—`Alaihis salâm—menjawab, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Dia (Ismail) menjawab, 'Wahai bapakku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; Insyâallâh engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." [QS. Ash-Shâffât: 102]
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail—`Alaihimâs salâm—pun lulus dengan sangat gemilang dalam ujian yang Allah berikan. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Maka ketika keduanya telah berserah diri dan ia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipisnya (untuk melaksanakan perintah Allah), Kami panggil ia, 'Wahai Ibrahim! Sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu.' Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Dan Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. (Yaitu): 'Selamat sejahtera dilimpahkan atas Ibrahim'. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik." [QS. Ash-Shâffât: 103-111]
Suatu tatanan pengorbanan dan pemberian yang integral ditancapkan kuat-kuat oleh Sang Kekasih Allah (Nabi Ibrahim) beserta istrinya, Hajar, saat ia meninggalkan Hajar di gurun pasir bersama bayi mungilnya, demi memenuhi titah Tuhan. Hajar lalu mendirikan bangunan pengorbanan itu dengan kepercayaannya terhadap janji Allah, bahwa Dia tidak akan menelantarkannya. Kemudian Nabi Ibrahim—`Alaihis salâm—kembali untuk menyempurnakan bangunan itu dengan ketaatannya kepada Tuhannya ketika diminta mengorbankan sang buah hati. Dan Ismail menyelesaikan seluruh bangunan indah itu dengan kepatuhannya melaksanakan titah Sang Mahakuasa.
Balasan Diberikan Sesuai Jenis Perbuatan
Dikarenakan pengorbanan demikian besar yang dipersembahkan oleh Nabi Ibrahim—`Alaihis salâm, Allah mengabadikan namanya dan mengangkat derajatnya di alam semesta. Ia adalah kekasih Allah yang jejak langkahnya diikuti oleh orang-orang yang beruntung. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang ia pun mengerjakan kebaikan, dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi 'khalîl' (kekasih)-Nya." [QS. An-Nisâ': 125]
Dan Nabi Ibrahim seorang diri adalah laksana satu umat seutuhnya. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya Ibrahim adalah satu umat, patuh kepada Allah dan hanîf (lurus). Dan ia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Allah)." [QS. An-Nahl: 120]
Peringatan tentang sikap Nabi Ibrahim—`Alaihis salâm—dalam memenuhi titah Tuhannya, dan selamatnya Nabi Ismail—`Alaihis salâm—dari penyembelihan ini menjadi hari raya yang diperingati oleh semua kaum muslimin setiap tahun. Di hari itu, mereka mengenang kembali kisah agung tersebut agar menjadi pelita dan petunjuk bagi mereka, sehingga kemudian mereka pun melanjutkan perjalanan Nabi Ibrahim—`Alaihis salâm—dalam berkurban, berderma, dan memberi.
Jejak Nabi Ibrahim—`Alaihis salâm, selanjutnya diikuti oleh Baginda Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersama para shahabat beliau yang mulia. Mereka menjelaskan kepada kita konsep pengorbanan yang hakiki dan menyeluruh. Mereka menanam saham di setiap lembah pengorbanan. Sehingga kata-kata mereka menjadi hidup dan berdenyut karena perbuatan mereka.
Demikian juga kalian, wahai para generasi muda pelanjut slogan pengorbanan dan pemberian. Setiap maksiat yang kalian tinggalkan demi Tuhan kalian, dan setiap perbuatan yang tidak diridha-Nya mampu kalian korbankan demi-Nya, akan Dia balas di dunia ini sebelum di Akhirat kelak. Allah akan mengangkat derajat kalian dan mengharumkan nama kalian. Sementara di Akhirat, sudah menunggu kenikmatan yang belum pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga, dan belum pernah terlintas di hati manusia.
Pemimpin Orang-orang yang Berkorban
Inilah ia teladan kalian, wahai generasi muda! Pemimpin orang-orang yang bertakwa, sekaligus penghulu orang-orang yang berkorban. Dialah Sang Kekasih Allah, Nabi Pilihan, Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam, yang seluruh kehidupannya adalah rangkaian yang sempurna berisi bakti untuk Agama dan pengorbanan di jalan Allah. Beliau tidak pernah pelit memberikan waktu, tenaga, dan harta demi umat beliau.
Baginda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—berkorban dengan harta beliau di jalan Allah, hingga 'Aisyah—Semoga Allah meridhainya—berkata untuk melukiskan kondisi beliau dan keluarga beliau, "Keluarga Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—tidak pernah merasa kenyang (karena memakan) roti gandum selama dua hari berturut-turut sampai Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—wafat." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Baginda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—selalu merasa sedih, berduka, dan resah karena memikirkan umat beliau, serta selalu ingin mereka mendapat hidayah. Sehingga seolah-olah beliau mengorbankan kebahagiaan beliau demi mereka, sampai-sampai Allah menegur beliau karena hal itu. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—(yang artinya): "Maka barangkali engkau (Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran)." [QS. Al-Kahf: 6]. Yakni, jangan hancurkan dirimu sendiri karena sedih memikirkan mereka.
Dalam sebuah peristiwa yang sangat mengagumkan, patut dicatat dalam lembaran sejarah dengan tinta emas, Anas ibnu Malik—Shallallâhu `alaihi wasallam—meriwayatkan kepada kita, bahwa seorang wanita yang terganggu pikirannya pernah berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki keperluan denganmu." Rasul menjawab, "Wahai Ummu Fulan, lihatlah, jalan mana yang engkau mau sehingga aku dapat memenuhi kebutuhanmu." Lalu beliau berjalan berdua dengan wanita itu di sebagian jalan sampai ia menyelesaikan keperluannya. [HR. Muslim]
Subhânallâh! Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—meluangkan waktu bersama seorang wanita yang sedang terganggu pikirannya. Wanita itu jelas tidak meminta sesuatu yang bernilai dan patut diperhatikan. Dapat diperkirakan bahwa wanita seperti itu hanya ingin mengadukan keresahannya atau meluahkan kesedihannya kepada beliau. Meskipun demikian, beliau memenuhi keinginan wanita itu dan meluangkan waktu bersamanya sampai ia memenuhi segala keinginannya!
Wahai Rasulullah, betapa indahnya pengorbanan agung yang engkau berikan kepada umatmu. Juga waktu, tenaga, dan harta yang engkau curahkan untuk kemuliaan dan kebangkitan umat ini.
Jual-Beli yang Menguntungkan
Ini kisah tentang Shuhaib Ar-Rûmî—Semoga Allah meridhainya. Seorang shahabat yang dengan sukarela tanpa amarah mau meninggalkan harta dan semua yang dimilikinya agar bisa berhijrah di jalan Allah. Ketika ia ingin hijrah, orang-orang kafir Quraisy berkata kepadanya, "Engkau dahulu datang kepada kami dalam keadaan miskin dan hina-dina, lalu di lingkungan kami, hartamu menjadi banyak dan engkau sampai pada kondisimu sekarang. Lalu sekarang engkau ingin keluar dengan membawa harta dan dirimu? Demi Allah! Itu tidak mungkin terjadi." Mendengar itu, Shuhaib berkata mereka, "Bagaimana pendapat kalian, bila aku berikan hartaku untuk kalian, apakah kalian akan membiarkan aku pergi?" Mereka menjawab, "Ya." Shuhaib lalu berkata, "Sesungguhnya aku memberikan hartaku untuk kalian." Lalu sampailah kabar tersebut kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Beliau pun bersabda, "Shuhaib beruntung. Shuhaib beruntung."
Sekarang, merenunglah sejenak bersama diri Anda, dan bertanyalah kepadanya, "Bagaimana dengan diriku? Apa yang telah aku korbankan? Apa yang telah aku berikan untuk ayah dan ibuku? Apa yang telah aku korbankan demi Agama dan umatku?"
Jalan Pengorbanan
Jika engkau tidak menemukan sesuatu yang engkau ingat pernah engkau korbankan di jalan Allah atau pernah engkau berikan kepada umatmu tercinta, ketahuilah bahwa sekarang ini Umat sangat membutuhkan orang yang dapat menghapus linangan air matanya, serta mau berusaha dengan serius dan sungguh-sungguh untuk kebangkitan dan kemuliaannya. Dan hal itu tidak akan mungkin ada kecuali dengan menghidupkan kembali nilai memberi dan berkorban di tengah kaum muslimin di seluruh bidang kehidupan.
Saudara-saudaraku yang mulia, berikut kami ketengahkan langkah-langkah praktis dan jelas, yang bisa menjawab pertanyaan yang mungkin dilontarkan oleh masing-masing Anda kepada diri sendiri saat ini: "Lalu apa selanjutnya? Apa yang bisa aku lakukan? Bagaimana caranya agar aku bisa bergerak di medan perjuangan untuk Agama, sehingga aku bisa memberi pengaruh kepada orang-orang di sekitarku dan dapat mengembalikan keagungan Umat ini?"
Sekarang kami akan menjawab melalui penjelasan rinci yang mudah-mudahan memuaskan, dan Insyâallâh bisa menjadi peta perjalanan di jalan perjuangan untuk Agama ini:
Langkah Pertama: Jadilah Teladan
Demi Allah, itulah saham terbesar yang dapat Anda ulurkan untuk agama Allah. Anda menjadi Al-Quran yang berjalan di muka bumi, mengubah setiap huruf yang Anda pelajari dari kitab Allah—`Azza wajalla—atau Sunnah Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—menjadi amal nyata yang bisa dirasakan. Hal ini bisa menjadi lisan terbaik untuk menyampaikan ajaran Agama ini kepada manusia. Dalam pepatah lama dikatakan bahwa perbuatan seseorang untuk seribu orang lebih berpengaruh daripada perkataan seribu orang untuk satu orang.
Jadi, keteladanan adalah kunci kesuksesan seorang pejuang Islam dalam berbuat dan berkorban untuk Agama ini, sekaligus merupakan kunci penerimaan manusia terhadap hidayah yang dibawanya.
Langkah Kedua: Tentukan Tujuan dan Jadilah Orang yang Sukses
Seorang pejuang Agama harus menentukan cara pandangnya terhadap kehidupan di setiap aspeknya, sehingga ia menjadi pribadi yang sukses, dipandang manusia sebagai contoh yang patut diikuti sifat, perilaku, dan kehidupannya. Sesungguhnya banyak orang yang meninggalkan perkataan para pejuang Agama, disebabkan karena mereka melihat sebagian pejuang itu gagal dalam profesi atau studi mereka.
Ingatlah! Hendaklah setiap pejuang Islam merasa takut kepada Allah, bila kegagalannya dalam studi atau kehidupannya menyebabkan banyak orang menghindar dari jalan hidayah. Karena itu, kita sangat berharap kepada para tokoh Islam yang memikul cita-cita Islam agar masing-masing mereka menjadi contoh dalam kehidupannya. Sehingga dengan perilaku, penampilan, dan kesuksesannya, ia menjadi da'i terbaik yang mengajak manusia ke jalan cahaya.
Langkah ketiga: Jadilah Penunjuk Jalan Menuju Allah
Jadilah seorang pemberi nasihat bagi hamba-hamba Allah. Genggamlah tangan mereka menuju Allah. Tebarkan kata-kata hidayah dari mulut Anda dengan aroma yang wangi, penuh kelembutan, kasih sayang, bijaksana, dan nasihat yang baik.
Peluangnya sangat banyak. Misalnya dengan mengajak orang yang Anda cintai untuk datang ke kelompok-kelompok menghapal Al-Quran, memanfaatkan hubungan sosial yang ada di dalam pengaruh Anda untuk dakwah di jalan Allah, ikut serta dalam proyek-proyek kebajikan yang membantu para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan, serta peluang-peluang dakwah lain yang turut andil dalam memperbaiki masyarakat dan membangun kebangkitan Umat.
Ketahuilah, bahwa "Mengorbankan waktu dan tenaga untuk dakwah menghadirkan suatu kenikmatan di dalam jiwa seorang da'i, mendatangkan kebahagian di dalam hati, serta mengundang rasa cinta di hati orang banyak. Bahkan amalan ketaatan bisa melahirkan lebih dari itu, seperti kekuatan tubuh yang prima, cahaya berseri di wajah, serta rasa cinta di dalam hati manusia." [Dr. Âdil Asy-Syuyûkh, "Musâfir fî Qithârid Da`wah", Hal. 191]
Langkah Keempat: Bekerjasamalah Dalam Kebaikan dan Ketakwaan
Carilah kawan-kawan yang baik. Bersamanya, Anda mentaati Allah dan memberikan kebaikan. Bekerjasama dengannya, Anda ulurkan kebaikan untuk kaum muslimin melalui kegiatan-kegiatan sosial. Anda bergerak bersamanya di jalan bakti untuk Agama ini, baik melalui mesjid, lembaga tahfîzh (taman hapal Al-Quran), maupun melalui lembaga dan yayasan sosial. Ini adalah bentuk kerjasama terpuji dalam kebaikan dan takwa yang dianjurkan oleh Allah—`Azza wajalla—kepada kita. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya." [QS. Al-Mâ'idah: 2]
Kepada Orang-orang yang Siap Berkorban
Wahai pemuda yang terhormat, bila panah-panah nasihat saya telah habis, saya berdoa kepada Allah semoga semua nasihat itu menyentuh relung hati Anda, lalu menggerakkan perasaan Anda, menggelorakan tekad Anda, dan mengingatkan Anda tentang kemuliaan para leluhur Anda yang agung; cucu keturunan Nabi Ibrahim—`Alaihis salâm, dan para pengikut Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam.
Sekarang Anda telah menyadari nilai dan urgensi berkorban. Semoga jiwa Anda berharap dapat memberikan segala yang mahal dan berharga demi meninggikan dan menolong Agama ini. Maka, mari persembahkan, mari memberi, mari berkorban! Jangan terlambat dan menunda-nunda.
Saya tahu, barangkali saat ini Anda tengah berpikir tentang berkorban dengan banyak hal. Pengorbanan itu sendiri bukanlah perkara gampang dan mudah. Bila tidak demikian, perilaku ini tentu tidak akan menjadi hal yang diridhai oleh Allah. Karenanya, saya ingin mengingatkan Anda.
Surga adalah negeri kebahagiaan, pelipur segala duka-lara, dan tempat pemberhentian perjalanan orang-orang yang beriman. Jiwa manusia memang memiliki tabiat tidak mau berkorban, berbuat, dan teguh, kecuali dengan iming-iming imbalan yang membuat segala kesulitan menjadi mudah, serta menundukkan segala halangan dan rintangan. Karenanya, orang yang tahu balasan yang akan diterimanya, niscaya akan ringan baginya segala kesulitan dalam berbuat. Saat ia meniti jalan, ia tahu, bahwa bila ia tidak teguh, ia akan kehilangan kesempatan menggapai Surga yang seluas langit dan bumi. Kemudian jiwa juga membutuhkan sesuatu yang dapat mengangkatnya dari tanah bumi dan menariknya ke alam yang tinggi.
Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—menggunakan janji Surga untuk meneguhkan para shahabat. Diriwayatkan dalam sebuah hadits yang derajatnya hasan shahîh, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—suatu ketika lewat di dekat Yâsir, `Ammâr, dan Ummu `Ammâr yang sedang disiksa di jalan Allah. Baginda Rasul lantas berkata kepada mereka, "Sabarlah, wahai keluarga Yâsir! Sabarlah, wahai keluarga Yâsir! Karena sesungguhnya tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah Surga."
[Muhammad Shâlih Al-Munajjid, "Wasâ'iluts Tsabât", hal.13-14]
[Sumber: www.islammemo.cc]