Suatu ketika, sebiji buah apel jatuh di kepala Newton. Lantas dari kejadian itu, ia menemukan sebuah hukum yang dikenal dengan nama hukum gravitasi bumi. Adalah Archimedes, ketika berada di sebuah kolam pemandian, perhatiannya tertuju pada sebatang kayu yang terapung di atas permukaan air, dan sebatang paku besi yang tenggelam ke dalam air. Lantas dari situ, ia menemukan sebuah hukum yang dikenal dengan nama hukum (gaya) apung. Kedua hukum tersebut mempunyai pengaruh yang nyata dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan sarana-sarana kehidupan.
Namun benarkah persoalannya sesederhana itu? Sesungguhnya jatuhnya buah apel di kepala juga sering menimpa orang-orang yang duduk di bawah pohon apel pada saat musim buah apel masak. Demikian juga terapungnya sebatang kayu di atas permukaan air, dan tenggelamnya sebatang besi ke dalam air, adalah hal yang jamak dilihat oleh setiap orang. Lalu mengapa Newton dan Archimedes melihat hal tersebut sebagai suatu yang istimewa, sehingga memberikan ilham kepada mereka untuk melahirkan teori-teori ilmu pengetahuan?
Ketika menemukan gaya apung dari apa yang dilihatnya itu, Archimedes berteriak, "Aku sudah menemukannya!" Ungkapan ini menyiratkan jawaban atas pertanyaan di atas. Jadi, sebenarnya ia telah menemukan sesuatu yang selama ini dicari-carinya. Pembaca yang budiman, pemahaman yang seperti ini hendaknya Anda hadirkan dalam diri Anda pada saat membaca artikel ini.
Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—dalam bukunya "Al-Fawâ`id", ketika menjelaskan firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." [QS. Al-`Ankabût: 69]. berkata, "Allah telah menegaskan bahwa kesempurnaan hidayah itu tergantung kepada besarnya usaha yang dilakukan untuk meraihnya. Jadi, orang yang paling sempurna mendapatkan hidayah adalah orang yang usahanya paling besar." Dan Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah menjamin tidak akan menyia-nyiakan usaha dan amal yang telah dilakukan oleh para hamba-Nya yang beriman. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfiman (yang artinya): "Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonan mereka (dengan berfirman), 'Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kalian, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kalian adalah turunan dari sebagian yang lain." [QS. Âli `Imrân: 195]
Sebesar apa usaha yang Anda lakukan dengan sungguh-sungguh, sebesar itu pulalah hasil yang akan Anda peroleh dalam semua sisi kehidupan. Karena Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang mengerjakan amalannya dengan baik. Sisi kehidupan yang paling berharga adalah diri Anda sendiri ketika Anda mampu meningkatkan kualitasnya, memperhatikannya dengan baik, dan menjaganya dari semua hal yang berpotensi merendahkannya.
Jadi, untuk itu, Anda harus berusaha mencari cara dan sarana untuk meraih kemajuan diri, serta mendapatkan solusi-solusi bagi tantangan yang sedang Anda hadapi. Sebagian orang menyebut tantangan sebagai permasalahan. Tetapi dalam kamus Anda, ia adalah tantangan yang menuntut kekuatan Anda dalam menghadapinya. Dengan begitu, insyâallâh dalam waktu dekat, kami akan segera mendengar Anda di setiap jalanan meneriakkan ungkapan, "Aku sudah menemukannya! Aku sudah menemukannya! Aku sudah menemukannya!"
Petunjuk-petunjuk dalam Mencari Solusi
1. Bandingkan usaha Anda dengan kerja keras lebah tatkala mengumpulkan madu.
Untuk menghasilkan 100 gram madu, lebah harus menghisap sari bunga yang terdapat pada jutaan bunga. Jadi, janganlah Anda menjadi orang yang kikir untuk melakukan kerja keras dalam mencari, berkonsultasi, dan belajar. Meraih keshalihan diri merupakan tujuan agung yang membuat semua kerja keras untuk meraihnya terasa mudah.
2. Keikhlasan dalam mencari kebenaran merupakan syarat utama untuk meraih kebenaran tersebut.
Antusiasme seorang pemuda untuk mendapatkan solusi bagi setiap permasalahannya, apa pun itu jenisnya, merupakan tanda bahwa dirinya telah memperoleh taufik (bimbingan) dari Allah—Subhânahu wata`âlâ—untuk mendapatkan arahan yang tepat dan benar. Sebagai contoh, coba Anda perhatikan bagaimana Allah—Subhânahu wata`âlâ—mengeluarkan shahabat Nabi bernama Salman Al-Fârisi—Semoga Allah meridhainya—dari kekafiran. Salman—Semoga Allah meridhainya—adalah seorang yang kaya, hidupnya makmur, dan memiliki kedudukan sosial yang tinggi. Ayahnya adalah pembesar kaum kafir. Namun Allah—Subhânahu wata`âlâ—menyelamatkan Salman—Semoga Allah meridhainya—dari semua keburukan yang mengelilinginya. Allah—Subhânahu wata`âlâ—membukakan jalan baginya untuk melakukan perpindahan dari satu fase ke fase yang lain, dan dari satu tempat ke tempat yang lain, hingga akhirnya sampai kepada kebenaran yang terang benderang, yaitu kebenaran Islam. Ia masuk Islam langsung melalui tangan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Tidak sampai di situ saja, ia bahkan mendapatkan kemuliaan yang jarang didapatkan oleh para shahabat Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—yang lain. Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—dalam sebuah hadits, "Salman termasuk bagian dari kami, Ahlul Bait." Salman juga dijuluki sebagai pencari kebenaran sejati. Hal itu sejalan dengan doa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—yang berbunyi, "Allâhumma arinal haqqa haqqan warzuqnat tibâ'ah, wa arinal bâthila bâthilan warzuqnaj tinâbah." (Ya Allah tunjukkanlah kepada kami yang benar itu benar, dan berikanlah kami kemampuan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah pada kami yang batil (salah) itu batil, dan berikanlah kami kemampuan untuk menjauhinya).
Keikhlasan artinya adalah bahwa Anda berbuat demi mencari kebenaran, bukan demi memenuhi keinginan hawa nafsu. Hal ini adalah syarat yang ditetapkan oleh Allah—Subhânahu wata`âlâ—untuk mendapatkan kebenaran dan mampu berpegang teguh kepadanya setelah itu.
3. Bandingkan sikap Anda dengan prasangka baik Nabi Ya'qûb—`Alaihis salâm—kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ.
Hal itu disebutkan di dalam firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Ya`qûb berkata, 'Sebenarnya diri kalian sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu, maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan." [QS. Yûsuf: 18]. Dan dalam firman-Nya (yang artinya): "Ya`qûb menjawab, 'Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kalian tiada mengetahuinya." [QS. Yûsuf: 86]. Dan juga dalam firman-Nya (yang artinya): "Tatkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, diletakkannya baju gamis itu ke wajah Ya`qûb, lalu kembalilah ia dapat melihat. Berkata Ya`qûb, 'Bukankah telah aku katakan kepada kalian bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang kalian tidak mengetahuinya." [QS. Yûsuf: 96]
Sesungguhnya Ya`qûb—`Alaihis salâm—mengetahui dari Allah apa yang tidak mereka ketahui. Ia mengetahui bahwa Allah—Subhânahu wata`âlâ—Maha Adil, Maha pemberi rahmat dan karunia, serta Maha Pemurah. Ia mengetahui dan mempercayai itu semua dengan penuh keyakinan. Ia mengetahui bahwa mimpi putranya Yûsuf—`Alaihis salâm—akan menjadi kenyataan, dan ia sepenuhnya percaya kepada Tuhannya, walaupun yang terjadi adalah sebaliknya dalam pandangan manusia. Ia mengetahui hal itu dari Allah, bahkan lebih dari itu.
Dan Anda, wahai kaum pemuda, sudah sejauh mana Anda berprasangka baik kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ, kepada rahmat, karunia, dan kemurahan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya yang shalih. Sementara Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah berfirman dalam sebuah hadits qudsi, "Aku adalah sebagaimana prasangka hamba-Ku kepada-Ku."
4. Pengembala kambing lebih baik daripada pengembala babi.
Apa korelasi kata kambing dan babi di sini dengan usaha untuk mendapatkan solusi bagi suatu permasalahan?
Kalimat tersebut merupakan ungkapan yang dilontarkan oleh seorang pembesar di sebuah wilayah Andalusia sebalum masa keruntuhannya. Ketika itu, para tentara salib menawarkan kepadanya jabatan raja dan harta dengan maksud agar ia berkhianat kepada kaum muslimin. Lantas ia berpikir sejenak, dan tidak lama setelah itu, satu keputusan bulat telah berada di dalam benaknya. Dengan lantang ia berkata di hadapan mereka, "Pengembala kambing (maksudnya adalah tetap berada dalam naungan Islam) lebih baik dan lebih mulia daripada harus menjadi tuan bagi segerombolan babi, yang pada akhirnya juga akan menjadi pengembala bagi babi-babi itu."
Janganlah Anda merasa ridha dengan selain Islam sebagai naungan bagi keluarga dan kehidupan Anda. Meski kami percaya bahwa Anda membaca artikel ini karena Anda sangat yakin dengan prinsip itu, namun adalah penting untuk kembali menegaskannya. Hal itu mengingat adanya kesulitan yang terkadang menyelimuti solusi-solusi yang dicari, sehingga menuntut kita melakukan perlawanan terhadap tradisi-tradisi yang mewarnai masyarakat kita dewasa ini bersama gelombang westernisasi yang datang bertubi-tubi. Prinsip yang dimaksud adalah keridhaan kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ—sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—sebagai rasul dan nabi kita.
5. Kembali kepada kebenaran adalah sebuah sikap yang terpuji.
Sesungguhnya keikhlasan Anda dalam mencari solusi bagi permasalahan Anda pasti akan mendorong Anda untuk mengakui sebagian tanggung jawab Anda terhadap permasalahan yang sedang Anda hadapi atau kesalahan yang Anda lakukan, jika memang terbukti Anda melakukan kesalahan. Selain itu, juga akan mendorong Anda untuk segera melakukan perbaikan. Umar ibnul Khaththâb—Semoga Allah meridhainya—dalam wasiatnya kepada Abu Musa Al-Asy`ari—Semoga Allah meridhainya—ketika mengutusnya menjadi qadhi di Kufah berkata, "Jika ada suatu keputusan yang telah engkau ambil di hari yang lalu, yang engkau tinjau kembali dan engkau mendapat petunjuk, janganlah sampai engkau terhalangi untuk kembali kepada kebenaran (mengoreksi keputusan itu), karena kebenaran itu sejatinya telah ada sejak lama. Dan kembali kepada kebenaran lebih baik daripada terus menerus dalam kesalahan."
6. Jangan mengambil suatu yang masih syubhat (tidak jelas benar salahnya).
Sesungguhnya Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah menjaga hak-hak semua hamba-Nya, dan mengharuskan mereka untuk saling menghormati satu sama lain. Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah melarang kaum muslimin memberlakukan hukum hudûd dengan berlandaskan bukti yang masih syubhat. Lantas kenapa Anda dengan mudah melontarkan tuduhan-tuduhan buruk kepada orang lain tanpa disertai bukti, atau bahkan mencari-cari kesalahannya. Sesungguhnya hanya orang-orang yang menjaga Syari'at dan hukum-hukum Allah-lah yang akan mendapatkan jaminan taufik, perlindungan, pertolongan, dan petunjuk-Nya.
7. Perhatikan lingkungan keluarga sebelum anak.
Sesungguhnya lingkungan keluarga yang buruk akan menghasilkan perilaku yang buruk pula dalam diri anak-anak. Kita mungkin sering terkejut menghadapi fakta bahwa ketika kita mengembalikan lingkungan anak kepada koridor Syari'at dan keharmonisan hidup, ternyata itu hampir secara total memberantas sekian banyak perilaku membangkang dan menyimpang dari anggota keluarga.
Kaum muda yang budiman, demikianlah sekilas penjelasan dari kami yang mungkin dapat membantu Anda dalam menemukan solusi-solusi bagi permasalahan Anda. Semoga Allah—Subhânahu wata`âlâ—senantiasa membimbing Anda kepada hal-hal yang dicintai dan diridhai-Nya.
[Sumber: www.islammemo.cc]