Di antara nikmat terbesar yang Allah karuniakan kepada manusia adalah nikmat tempat tinggal, tempat yang Allah khususkan bagi manusia untukmenutupi diri dari pandangan orang lain. Allah memberinya hak untuk memanfaatkannya dan melarang orang lain melihat isinya dari luar atau memasukinya tanpa seizin pemiliknya. Hal itu bertujuan agar orang lain tidak semena-mena menodai kehormatan dan mengintai kehidupan privasi mereka. Itu semua adalah nikmat yang besar yang Allah karuniakan kepada manusia. Mengenai hal ini, Allah―Subhânahu wa Ta`âlâ―berfirman (yang artinya): "Dan Allah menjadikan bagi kalian rumah-rumah kalian sebagai tempat tinggal, dan Dia menjadikan bagi kalian rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kalian merasa ringan (membawa)nya di waktu kalian berjalan dan waktu kalian bermukim, dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu)." [QS. An-Nahl: 80]
Rumah atau tempat tinggal dalam bahasa Arab disebut 'maskan' (tempat ketenangan), karena ia adalah tempat peristirahatan, ketenteraman dan keamanan. Rumah adalah tempat bersandar terakhir bagi seorang manusia di dunia. Seandainya ia tidak mendapatkan ketenangan di rumah tersebut, kemana lagi ia akan mencarinya?
Barang siapa yang merenungi hukum Islam yang mulia, dan adabnya yang luar biasa dalam perkara menghormati privasi seseorang, dan sakralnya kedudukan sebuah rumah tangga, maka ia akan mengetahui bahwa kita sudah meninggalkan Islam dalam kehidupan kita. Kita juga akan menyadari bahwa Islam telah menjadi asing di tengah orang-orang khusus, (orang yang taat) terlebih-lebih di tengah orang-orang awam.
Mengenal dan menerapkan adab minta izin adalah sebuah kebutuhan yang sangat mendasar bagi kita dalam kehidupan, untuk menjauhkan kesusahan (kerepotan) dari diri kita dan orang lain. Apalagi pada zaman di mana ilmu agama sudah semakin sedikit, dan orang kafir menjadi panutan banyak kaum muslimin dalam kebiasaan dan kehidupan mereka sehari-hari.
Jika `Abdullah Ibnu `Abbâs—Semoga Allah meridhainya—saja sudah mengeluhkan bahwa kebanyakan kaum muslimin tidak mengetahui ayat minta izin pada zamannya, jika Sa`îd Ibnu Jubair—Semoga Allah meridhainya—saja sudah mengatakan, "Sebagian orang mengatakan bahwa ayat tentang minta izin adalah ayat yang mansûkh (dibatalkan). Demi Allah ia tidak mansûkh, akan tetapi orang-orang mengabaikannya," lantas apa yang akan kita katakan pada zaman sekarang?
Maksud Minta Izin
Secara bahasa "Al-Isti'dzân" yang dimaksud di sini adalah 'meminta izin' atau meminta izin untuk melakukan sesuatu. Yakni meminta kebolehan dan restu melakukan sesuatu.
Adapun dalam definisi syariat, ia bermakna meminta izin untuk memasuki tempat yang bukan milik peminta izin.
Hukum Minta Izin
Hukum minta izin ketika hendak memasuki rumah orang lain adalah wajib bagi siapa saja yang sudah mencapai usia baligh. Adalah terlarang, seseorang memasuki rumah orang lain tanpa meminta izin pemiliknya. Karena Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagi kalian, agar kalian (selalu) ingat." [QS. An-Nûr: 27]
Menurut ulama mazhab Maliki, hukum minta izin adalah wajib, seperti wajibnya ibadah-ibadah fardhu. Sehingga siapa yang tidak melaksanakannya—menurut mazhab ini—berarti telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Cara Minta Izin
Pada dasarnya minta izin dilakukan dengan ucapan. Bentuk terbaiknya, si peminta izin mengucapkan, "Assalâmu`alaikum. Apakah saya boleh masuk?"
Sebuah hadits diriwayatkan dari Rib`î Ibnu Khirâsh, ia mengatakan, bahwa seorang laki-laki dari Bani `Âmir menceritakan bahwa ia meminta izin kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—saat beliau berada di rumahnya. Laki-laki itu berkata, 'Apakah saya masuk?' Rasulullah Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda kepada pembantu beliau: 'Temuilah orang ini, dan ajarkanlah ia bagaimana cara meminta izin. Katakan kepadanya, ucapkanlah, 'Assalâmu`alaikum, apakah saya boleh masuk?' Laki-laki itu mendengar apa yang dikatakan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—maka ia mengucapkan, "Assalâmu`alaikum. Apakah saya boleh masuk?" Maka Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—mengizinkan, dan ia pun masuk."
Seandainya tuan rumah yang didatangi mengizinkan si peminta izin (pengunjung) masuk, maka ia boleh masuk. Namun, jika ia menyuruh pulang, maka yang bersangkutan harus kembali. Hal itu sesuai dengan firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "…dan jika dikatakan kepada kalian: 'Kembalilah," maka hendaklah kalian kembali. Itu lebih suci bagi kalian." [QS. An-Nûr: 28]
Minta Izin Hanya Tiga Kali
Jika permintaan izinnya tidak dijawab oleh penghuni rumah, maka seorang muslim mengulanginya sampai tiga kali. Jika setelah permintaan izin yang ketiga, permintaannya juga tidak dijawab, maka hendaklah ia pulang. Sebuah atsar diriwayatkan dari Abû Sa`îd Al-Khudrî—Semoga Allah meridhainya—bahwa ia berkata, "Suatu ketika aku berada di suatu perkumpulan kaum Anshâr. Tiba-tiba Abu Mûsâl Asy`ari datang dalam keadaan kebingungan. Ia mengatakan, 'Aku minta izin kepada `Umar sebanyak tiga kali, namun ia tidak mengizinkanku. Lantas aku pun pulang, karena Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: "Jika salah seorang dari kalian telah minta izin sebanyak tiga kali, namun ia tidak diizinkan, hendaklah ia kembali." `Umar berkata, 'Engkau harus mendatangkan bukti terhadap hadits ini!' Adakah di antara kalian yang mendengar hadits ini dari Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam? Ubay Ibnu Ka`ab berkata, 'Tidaklah ada yang berdiri bersamamu, kecuali yang terkecil dari orang yang ada di sini.' Aku adalah yang terkecil di antara mereka, dan aku ikut bersama Abû Mûsa Al-Asy`ari untuk mengabarkan kepada `Umar bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—memang bersabda demikian.
Tidak boleh minta izin lebih dari tiga kali, baik penghuni rumah yang dimintai izin tersebut mendengar ataupun tidak. Seandainya penghuni rumah tersebut menanyakan namanya, hendaklah peminta izin (pengunjung) menyebutkan namanya yang dikenal oleh si penghuni rumah. Ia tidak boleh menjawabnya dengan kata, "Saya" saja. Karena Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—tidak menyukai bentuk jawaban seperti ini.
Minta Izin dengan Mengetuk Pintu dan Sejenisnya
Dalam beberapa hadits disebutkan bahwa seorang shahabat menemui Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—dan mengetuk pintu rumah beliau. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—tidak mengingkari tindakan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa minta izin dengan mengetuk pintu adalah perkara yang boleh. Para ulama menyatakan bahwa meminta izin boleh dengan cara yang dikenal oleh mayoritas orang pada zaman sekarang, seperti mengetuk pintu dan menggunakan bel. Ketika mengetuk pintu, si peminta izin dianjurkan mengetuknya dengan cara yang lunak dan tidak keras. Dan kepada pemilik rumah dianjurkan agar tidak menggunakan bel yang suaranya berupa musik dan hendaknya bel tersebut tidak menyerupai bunyi bel gereja, karena Syariat melarang setiap muslim menyerupai orang-orang kafir.
Posisi Berdiri Ketika Minta Izin
Seorang muslim yang meminta izin masuk ke rumah orang lain hendaklah mengambil posisi di mana ia tidak melihat isi rumah orang tersebut, baik dengan menghadap ataupun membelakanginya. Sebuah hadits diriwayatkan dari Huzail Ibnu Syarahbîl, bahwa seorang laki-laki menemui Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam―dan meminta izin sambil berdiri menghadap ke pintu rumah beliau. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—berkata kepadanya: "(Beginilah posisimu (dalam minta izin). Sesungguhnya disyariatkannya minta izin untuk menjaga pandangan." [HR. Abû Dâwûd, menurut Albani: shahîh]
Hukum Melihat Isi Rumah Orang Lain
Melihat isi rumah orang lain tanpa seizin pemiliknya adalah haram. Rumah bagi setiap orang ibarat daerah haram yang seharusnnya membuat pemilik merasa aman. Orang lain tidak boleh menjadikannya daerah halal kecuali dengan sepengetahuan dan seizin penghuninya, pada waktu yang mereka inginkan dalam kondisi yang mereka inginkan pula. Tidak halal bagi seseorang menerobos privasi orang lain, seperti dengan menguping, memata-matai, menyelinap masuk, walau hanya dengan pandangan, baik dari jauh ataupun dari dekat. Sebuah hadits diriwayatkan dari Tsaubân, budak Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: 'Tidak halal bagi seorang muslim melihat ke dalam sebuah rumah (milik orang lain) sehingga ia minta izinnya." [HR. Al-Bukhâri. Menurut Syaikh Albani: shahîh]
Sebuah hadits juga diriwayatkan dari Sahal Ibnu Sa`ad—Semoga Allah meridhainya—bahwa ia berkata, "Seorang laki-laki melihat ke sebuah lubang di kamar Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, saat itu Nabi memegang sebuah sisir yang bergigi jarang untuk menyisir rambutnya. Nabi bersabda (kepada orang itu): "Seandainya aku tahu bahwa engkau melihat, niscaya aku akan mencolok matamu dengan ini. Sesungguhnya disyariatkannya minta izin adalah untuk menjaga pandangan." [HR. Al-Bukhâri, Muslim dll.]
Pada suatu ketika seorang laki-laki minta izin masuk ke rumah Hudzaifah. Laki-laki itu melihat ke dalam rumahnya, dan kemudian berkata, "Apakah saya boleh masuk?" Hudzaifah berkata, "Pandangan matamu sudah masuk, badanmu saja yang belum masuk."
Minta Izin kepada Mahram
Para ulama peneliti telah menjelaskan bahwa setiap laki-laki harus minta izin untuk masuk ke tempat ibu, saudara perempuan, anak laki-laki dan anak perempuannya yang baligh. Demikian juga, ia minta izin ketika masuk ke tempat bibi-bibinya, jika mereka menetap satu rumah dengannya.
Anak-Anak dan Adab Minta Izin
Menurut jumhur ulama, kita wajib menyuruh anak kecil yang sudah mumayyiz (bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk) untuk meminta izin sebelum masuk ke tempat orang tuanya pada tiga waktu. Ketiga waktu tersebut adalah saat-saat biasanya orang tua membuka aurat, seperti disinyalir dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (laki-laki dan perempuan) yang kalian miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kalian, meminta izin kepada kalian tiga kali (dalam satu hari) Yaitu: sebelum shalat Shubuh, ketika kalian menanggalkan pakaian (luar) kalian di tengah hari dan sesudah shalat Isya'. (Itulah) tiga aurat bagi kalian. Tidak ada dosa atas kalian dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka berkeliling di sekitar kalian, sebagian kalian (ada keperluan) dengan sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." [QS. An-Nûr: 58]
Anas Ibnu Mâlik selalu meminta izin ketika masuk ke rumah Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, walaupun saat itu ia belum baligh. Begitu para shahabat dengan anak-anak dan budak-budak mereka. Sedangkan setelah anak-anak itu baligh, maka mereka harus meminta izin setiap kali masuk.
Catatan Penting
Sesungguhnya pengajaran adab Islami yang tinggi ini, telah diabaikan oleh kebanyakan orang dalam kehidupan rumah tangga. Mereka menganggap enteng akibat pengabaian itu yang berupa tekanan psikologis dan penyimpangan perilaku yang terjadi pada anak-anak mereka. Mereka mengira bahwa anak-anak yang belum baligh belum memahami masalah seksual. Padahal para ahli pendidikan dan psikologi menyatakan bahwa pandangan anak pada aurat dan kondisi privasi suami istri membuatnya mengalami tekanan psikologis, dan kegoncangan perilaku yang memiliki efek negatif.
Hal itu menyadarkan kita terhadap pentingnya menjaga mata anak-anak yang masih lugu dari sesuatu yang mencemari fitrahnya yang suci, merusak kesehatan jiwanya, dan mengancam kelurusan akhlaknya, baik di dalam ataupun di luar rumah, baik pada tiga "waktu aurat" ataupun pada waktu yang lainnya. Sikap menyelonong, santai yang ada dalam sebagian rumah, toleransi yang buruk, bahkan berlebihan dalam membuka tubuh, dan kondisi yang disebut Al-Quran Al-Karim sebagai aurat di depan anak—dengan alasan bahwa mereka tidak memahami masalah biologis, semua itu meruntuhkan hikmah-hikmah penetapan hukum Syariat mulia. Di antara hikmah tersebut adalah menjaga anak-anak dari kesadaran dini terhadap masalah seksual, menjaga kesucian fitrah mereka dan menjauhkan mereka dari perilaku menyimpang. Betapa banyak kejadian yang memilukan (seperti perzinaan) terjadi berawal dari meniru dan mencoba-coba, akibat mengabaikan adab Islam yang mulia ini.
Selanjutnya bisa dirujuk ke kitab yang berjudul, Al-Adab Adh-Dhâ'i`, Syaikh Muhammad Ibnu Ismail Al-Muqaddam.
Sumber: Al-Adâb Adh-Dhâ'i`, karya Syaikh Muhammad Ibnu Ismail Al-Muqaddam