Dalam agama Islam, ketulusan mempunyai kedudukan dan posisi yang agung. Bagaimana tidak, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—sendiri telah menjadikan konsep ketulusan setara dengan seluruh agama ini. Beliau bersabda, "Agama adalah ketulusan."
Pada dasarnya, suatu ketulusan disampaikan karena rasa cinta seseorang kepada orang di sekitarnya, didorong oleh rasa sayangnya kepada mereka, serta keinginannya untuk membawa kebaikan kepada mereka dan menolak keburukan dari mereka.
Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga telah membai`at para shahabat beliau untuk selalu tulus kepada sesama kaum muslimin. Jarîr ibnu `Abdillah—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Aku membai`at Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan memberikan ketulusan kepada setiap muslim."
Orang yang memberikan ketulusan kepada orang lain dan ingin memberikan kebaikan kepada mereka merupakan khalifah Allah di muka bumi. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al-Hasan Al-Bashri—Semoga Allah merahmatinya, "Allah senantiasa memiliki para hamba yang setia memberikan nasihat. Mereka memberi nasihat kepada manusia karena Allah semata. Mereka juga memberi nasihat kepada manusia agar menunaikan hak Allah. Mereka juga beramal demi Allah di muka bumi dengan menyampaikan nasihat. Merekalah para khalifah Allah di muka bumi."
Nasihat untuk Siapa?
Di dalam hadits disebutkan bahwa nasihat adalah untuk Allah, untuk Rasul-Nya, untuk Kitab Suci-Nya, untuk para pemimpin kaum muslimin, dan untuk umat Islam secara umum. Ibnu Hajar—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Nasihat untuk Allah adalah menyebut Allah sesuai dengan sifat yang layak bagi-Nya, lahir batin tunduk kepada-Nya, ingin menggapai cinta-Nya dengan taat kepada-Nya, takut akan murka-Nya dengan meninggalkan maksiat, serta berjihad membimbing para pelaku maksiat agar kembali ke jalan Allah. Nasihat untuk Kitab Suci Allah adalah mempelajarinya, mengajarkannya, menunaikan hak setiap hurufnya saat membacanya, menuliskannya dengan benar, memahami makna-maknanya, menjaga batas-batasnya, menunaikan kandungannya, dan menangkis pemalsuan yang dilakukan oleh para pemalsu. Nasihat untuk Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—adalah mengagungkan beliau, membela beliau ketika beliau masih hidup dan setelah beliau wafat, menghidupkan sunnah beliau dengan mempelajari dan mengajarkannya, meneladani semua perkataan dan perbuatan beliau, serta mencintai beliau dan para pengikut beliau. Nasihat untuk para pemimpin kaum muslimin adalah menolong mereka dalam menunaikan amanah yang mereka emban, mengingatkan mereka ketika lalai, menutupi kekurangan mereka, menyatukan umat di bawah kepemimpinan mereka, dan mengajak orang-orang yang menjauh untuk kembali kepada mereka. Termasuk nasihat terbesar untuk para pemimpin umat Islam adalah mencegah mereka dari kezaliman dengan cara terbaik. Dan termasuk para pemimpin umat ini adalah para imam mujtahid. Adapun nasihat untuk para imam mujtahid ini adalah dengan menyebarkan ilmu mereka, menyebarkan keutamaan mereka, dan ber-husnuzhan (berbaik sangka) kepada mereka. Nasihat untuk umat Islam pada umumnya adalah mengasihi mereka, melakukan hal-hal yang membawa manfaat bagi mereka, mengajarkan hal-hal yang bermanfaat kepada mereka, tidak menyakiti mereka, menginginkan kebaikan untuk mereka sebagaimana untuk diri sendiri, serta tidak menyukai hal-hal buruk menimpa mereka sebagaimana tidak menyukainya terjadi pada diri sendiri."
Abdurrahmân ibnu Nâshir As-Sa`di berkata, "Nasihat untuk Allah dan Rasul-Nya adalah dengan beriman secara sungguh-sungguh kepada keduanya, mengikhlaskan niat dalam berjihad dan berazam (bertekad) untuk melakukannya ketika mampu, dan berupaya sekuat tenaga mendorong serta memotivasi kaum muslimin untuk berjihad."
Adapun nasehat pertama yang harus ditunaikan seseorang adalah nasihat terhadap dirinya sendiri. Orang yang lalai terhadap dirinya sendiri niscaya akan sedikit sekali memberi nasihat kepada orang lain.
Para Rasul Adalah Orang-orang yang Paling Bersemangat Memberi Nasihat Kepada Kaum Mereka
Para utusan Allah telah berupaya keras dalam berdakwah kepada kaum mereka. Mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk memberi hidayah kepada mereka. Para utusan Allah telah mencurahkan segala kemampuan untuk memberi nasihat kepada kaum mereka.
Nabi Nuh—`Alaihis salâm—berkata kepada kaumnya, sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Quran (yang artinya), "Tetapi aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku sampaikan kepada kalian amanat-amanat Tuhanku, dan aku memberi nasihat kepada kalian." [QS. Al-A`râf: 61-62]
Para rasul setelah Nabi Nuh—`Alaihis salâm—juga mengikuti jejaknya dalam mencurahkan segala kemampuan untuk memberikan nasihat kepada kaum mereka. Nabi Hud—`Alaihis salâm, misalnya, ketika berkata kepada kaumnya, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran (yang artinya): "Dan aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagi kalian." [QS. Al-A`râf: 68]
Nabi Shalih—`Alaihis salâm—juga berkata kepada kaumnya, sebagaimana yang diabadikan di dalam Al-Quran (yang artinya): "Dan aku telah memberi nasihat kepada kalian, tetapi kalian tidak menyukai orang-orang yang memberi nasihat." [QS. Al-A`râf: 79]
Nabi Syu`aib—`Alaihis salâm—juga berkata kepada kaumnya, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran (yang artinya): "Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepada kalian amanat-amanat Tuhanku dan aku telah memberi nasihat kepada kalian." [QS. Al-A`râf: 93]
Para shahabat juga telah bersaksi bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—telah menyampaikan risalah dari Allah dan telah memberi nasihat kepada umat beliau. Sebuah hadits diriwayatkan dari Jâbir ibnu Abdillah—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Kalian kelak akan ditanya tentang diriku, maka apa yang akan kalian katakan?" Mereka menjawab, "Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, dan telah memberi nasihat."
Nasihat Adalah Hak Seorang Muslim dari Muslim yang Lain
Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—mengategorikan nasihat kepada kaum muslimin sebagai hak terbesar. Beliau bersabda, "Hak seorang muslim atas muslim lainnnya ada enam perkara." Lalu beliau menyebutkan salah satunya: "Jika saudaranya meminta nasihat hendaklah ia memberi nasihat kepadanya." Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga bersabda, "Jika salah seseorang dari kalian dimintai nasihat oleh saudaranya hendaknya ia menasihatinya."
Allah—Subhânahu wata`âlâ—juga melipatgandakan pahala pemberi nasihat yang ikhlas dan hanya menginginkan kebaikan bagi umat Islam. Sebuah hadits diriwayatkan dari Abdullah ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Jika seorang budak memberikan nasihat kepada tuannya, dan ia beribadah dengan baik kepada Allah, maka ia mendapatkan pahala dua kali lipat."
Budak seperti ini juga termasuk orang yang pertama kali masuk Surga, berdasarkan sabda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Ditunjukkan kepadaku tiga golongan yang masuk Surga pertama kali, yaitu orang yang syahid, orang yang menjaga kehormatan dirinya dengan tidak meminta-minta, dan budak yang beribadah dengan baik kepada Allah dan memberi nasihat kepada tuannya."
Adab Memberi Nasihat
Jika dalam Agama ini nasihat memiliki posisi yang tinggi seperti dipaparkan di atas, maka nasihat yang dapat membawa manfaat adalah yang disertai dengan adab-adab syar`i yang disebutkan oleh para ulama. Di antara adab-adab tersebut adalah:
1. Ikhlas karena Allah—Subhânahu wata`âlâ—semata dalam menyampaikan nasihat, tanpa bermaksud pamer (riya dan sum'ah), bukan untuk tujuan duniawi, dan tidak untuk menunjukkan kelebihan diri.
2. Memahami nasihat yang disampaikan, karena nasihat termasuk salah satu bentuk amar makruf dan nahi mungkar. Jika orang yang menyampaikannya tidak memahami nasihat yang ia sampaikan, maka tidak tertutup kemungkinan yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu justru melarang kebaikan, padahal ia mengira bahwa ia melarang kemungkaran, atau memerintahkan kemungkaran, padahal ia mengira bahwa ia sedang memerintahkan kepada kebaikan.
3. Memberi nasihat secara diam-diam, tidak membongkar aib orang yang diberi nasihat, serta berupaya untuk menutupi kesalahannya. Nasihat yang diberikan kepada seseorang di depan khalayak ramai sama saja dengan celaan dan kecaman yang tidak dapat diterima oleh orang. Mis`ar ibnu Kidam—Semoga Allah merahmatinya—pernah berkata, "Semoga Allah mengasihi orang yang menunjukkan kekuranganku kepadaku secara diam-diam, yaitu hanya antara diriku dan dirinya. Karena nasihat di depan orang banyak adalah kecaman (celaan)."
4. Bersikap lemah lembut dalam menyampaikan nasihat, serta menghindari kekerasan dan celaan. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Tidaklah kelembutan ada pada sesuatu kecuali ia akan menghiasinya."
Adapun orang yang diberi nasihat, kewajibannya adalah mendengarkan nasihat, melakukan apa yang baik darinya dan membuang jauh-jauh keinginan diri yang tidak membawa manfaat. Para tokoh generasi salaf dari Umat ini menganggap nasihat sebagai sebuah hadiah yang diberikan oleh pemberi nasihat. Umar—Semoga Allah meridhainya—pernah berkata, "Semoga Allah merahmati seseorang yang menunjukkan kekurangan-kekuranganku kepadaku."
Sikap keras dari pemberi nasihat hendaknya juga tidak membuatnya mengabaikan manfaat dari nasihat yang disampaikan.
Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang mendengar perkataan dan mengikuti yang terbaik darinya. Alhamdulillâhi Rabbil 'âlamîn.