Abdul Malik ibnu Marwan

10/10/2024| IslamWeb

Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya—pernah berkata saat memperhatikan Abdul Malik di masa kecilnya, "Anak ini akan menjadi raja bangsa Arab."

Abdul Malik dilahirkan di kota Madinah pada tahun 24 H., di awal masa pemerintahan Utsman ibnu Affân—Semoga Allah meridhainya. Ia adalah seorang yang hafal Al-Quran. Ia menerima hadits Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—dari pamannya Utsman ibnu Affân, Abu Hurairah, Ummu Salamah, Mu'âwiyah, dan Abdullah ibnu Umar—Semoga Allah meridhai mereka.

Pada masa kecilnya, Abdul Malik sering bertanya kepada bapaknya, pamannya, dan para shahabat yang ada di sekitarnya tentang sejarah hidup Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Mereka pun menjawab pertanyaannya itu dengan jawaban yang membangkitkan semangatnya, dan menambah ketertarikannya kepada kebesaran Islam.

Namun ia memiliki pengalaman pahit, ketika berusia 10 tahun, ia menyaksikan pembunuhan Khalifah Utsman ibnu Affan. Kejadian itu menyisakan kesan sedih yang mendalam pada dirinya. Namun demikian, dari kejadian itu juga ia mengambil pelajaran untuk bersikap tegas dan keras kepada para pengacau yang zalim.

Ia belajar kepada para fuqaha dan ulama, sampai ia menjelma menjadi seorang faqih. Pada suatu ketika, Abdullah ibnu Umar—Semoga Allah meridhainyaditanya tentang suatu permasalahan Agama. Ia berkata, "Marwan mempunyai seorang anak yang faqih. Tanyakanlah kepadanya."

Al-A'masy berkata, "Fuqaha penduduk Madinah ada empat orang: Sa'id ibnul Musayyab, 'Urwah, Qabîshah ibnu Dzu`aib, dan Abdul Malik ibnu Marwan."

Abdul Malik tidak pernah meninggalkan shalat berjemaah di Mesjid. Bahkan ia sampai digelari dengan merpati mesjid, karena rajinnya ia beribadah dan membaca Al-Quran di dalamnya.

Sejak kecil, Abdul Malik ibnu Marwan sudah menjadi pusat perhatian banyak orang, karena keteguhannya memegang prinsip-prinsip Islam. Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa suatu ketika, Mu'âwiyah duduk bersama Sa'id ibnul 'Âsh—Semoga Allah meridhainya. Tiba-tiba, Abdul Malik lewat di dekat mereka. Mu'âwiyah berkata, "Alangkah menakjubkannya anak ini, betapa tinggi sopan santun-nya." Sa'id berkata, "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya anak ini mengambil empat sifat dan meninggalkan tiga sifat. Sifat yang ia ambil adalah berucap dengan baik saat ia berbicara, mendengar dengan baik jika ada yang berbicara kepadanya, berwajah cerah saat bertemu dengan orang lain, dan tidak banyak mendebat jika pendapatnya tidak disetujui. Sementara yang ditinggalkannya adalah perkataan yang tidak layak, bergaul dengan orang-orang jahat, dan bergurau dengan orang yang tidak bisa dipercayai pikiran dan perilakunya."

Abdul Malik ibnu Marwan meninggalkan kota Madinah pada bulan Rabî'ul Awwal tahun 64 H., ketika terjadi fitnah dan kekacauan di negeri Syam, serta munculnya Abdullah ibnuz Zubair di Mekah dan Hijaz mengumumkan diri sebagai khalifah kaum muslimin. Hanya enam bulan kemudian, bapaknya, Marwan dibaiat menjadi khalifah. Namun hanya sempat memimpin selama sepuluh bulan, ia meninggal dunia. Abdul Malik akhirnya ditunjuk sebagai penggantinya pada tahun 65 H. Para pembesar dan panglima perang pasukan Dinasti Umayyah serta pembesar masyarakat berbondong-bondong membaiatnya.

Ketika naik menjadi khalifah, daerah kekuasaan Abdul Malik hanyalah Syam dan Mesir. Kerajaannya saat itu dikelilingi bahaya dari segala penjuru. Di dalam tubuh dunia Islam sendiri, kekuatan Islam terpecah belah, penuh pertikaian dan kekacauan. Di Hijaz, ada Abdullah ibnuz Zubair. Di Syam, terdapat kerajaan Bani Umayyah. Di daerah Ahwâz, terdapat Khawarij Al-Azraq. Di Jazirah Arab, ada kekuasaan Khawarij An-Najdât (pengikut Najdah ibnu 'Âmir Al-Hanafi). Dan di Kufah, terdapat kekuasaan Syiah. Sedangkan ancaman dari luar Islam, kerajaan Romawi senantiasa mengatur konspirasi dan mencari-cari kesempatan perpecahan umat Islam untuk mengubah perbatasan di bagian utara dan barat. Benar-benar ancaman dari segala penjuru.

Berangkat dari kenyataan itu, Abdul Malik menyadari pentingnya diadakan penyatuan berbagai kekuatan Islam untuk menghadapi musuh. Ia pun mulai menyiapkan bala tentaranya. Ia perlakukan para panglima dan para pembantunya dengan baik. Ia hormati dan sayangi mereka. Jika ada di antara mereka yang sakit, ia ziarahi. Ia juga sering mengundang mereka menghadiri majelis-majelis yang ia adakan. Ia perlakukan mereka seperti sahabat. Inilah salah satu faktor terpenting yang membuatnya meraih keberhasilan dan kemenangan.

Pada tahun 74 H., umat Islam bersatu, setelah bertikai sekian lama. Perselisihan seputar khilafah pun lenyap. Sehingga tahun itu pun dinamakan dengan tahun persatuan. Masyarakat Hijaz dan Irak sepakat membaiat Abdul Malik ibnu Marwan, sebagaimana ia dibaiat sebelumnya oleh masyarakat Syam dan Mesir. Baiat juga datang dari masyarakat Khurasan. Kerajaan Islam pun kembali meraup posisi, kepemimpinan, dan wibawanya di depan para musuh. Daerah Islam semakin luas, karena Abdul Malik berhasil membuka beberapa wilayah baru. Abdul Malik mengutus pasukan yang akhirnya berhasil membuka dan menguasai beberapa negeri di bagian barat Afrika.

Abdul Malik menerapkan politik yang keras dan tegas dalam pemerintahannya. Ia memang adalah sosok yang memililki keinginan dan kepribadian yang kuat. Oleh sebab itu, sebagian pakar sejarah mengatakan, "Mu'âwiyah cenderung sabar, dan Abdul Malik lebih cenderung tegas." Abu Ja'far Al-Manshûr mengatakan, "Abdul Malik ibnu Marwan adalah khalifah yang paling tegas dan paling teguh menjalankan tekadnya."

Abdul Malik sangat memperhatikan 'kebersihan' orang yang bekerja di kerajaannya. Pada suatu hari, ia diberitahu bahwa salah seorang pekerjanya menerima hadiah. Ia pun segera menyuruhnya untuk menghadap. Ketika si pekerja datang, Abdul Malik bertanya padanya, "Apakah engkau pernah menerima hadiah sejak aku angkat?" Pembantunya itu berkata, "Wahai Amirul Mukminin, kerajaan Anda makmur, pajak Anda berlimpah, dan rakyat Anda dalam kondisi yang sangat baik." Abdul Malik berkata, "Tolong jawab pertanyaanku!" Si pekerja menjawab, "Iya, aku menerima hadiah." Mendengar itu, Abdul Malik pun langsung memberhentikannya.

Abdul Malik bukan hanya seorang politikus, namun juga seorang sastrawan dan menyukai para sastrawan. Ia sering mengadakan pertemuan sastra. Di situ, ia biasa menyampaikan kritik terhadap syair-syair yang dibacakan di hadapannya. Kritikan-kritikan itu menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang memiliki jiwa seni yang tinggi.

Abdul Malik telah menunjukkan kepiawannya dalam mengelola negara dan mengatur perangkat-perangkatnya, sebagaimana ia juga telah menunjukkan kepiawaiannya dalam mengembalikan kesatuan umat Islam. Dalam menjalankan pemerintahannya, ia mempercayai orang-orang yang telah terbukti paling mahir, paling cakap, dan paling berpengalaman, seperti Al-Hajjâj ibnu Yusuf Ats-Tsaqafi, Bisyr ibnu Marwan, dan Abdul Aziz ibnu Marwan.

Abdul Malik biasa memantau langsung keadaan masyarakatnya, memperhatikan kondisi para pekerja dan petinggi kerajaannya, serta memantau tingkah laku mereka. Ia berhasil meraih prestasi-prestasi manajerial yang luar biasa, sehingga mendorong kemajuan yang sangat berarti bagi pemerintahan Islam.

Abdul Malik adalah orang pertama yang membuat mata uang dinar dengan bertuliskan ayat-ayat Al-Quran. Di salah satu sisinya ia tulis: "Qul huwallâhu ahad", dan di sisi yang lain ia tulis, "Muhammad utusan Allah. Allah mengutusnya dengan petunjuk dan Agama yang benar."

Pada masa pemerintahannya, buku-buku diterjemahkan dari bahasa Persia dan Romawi ke bahasa Arab. Hal itu dikenal dalam sejarah dengan istilah gerakan arabisasi buku-buku.

Meskipun dikenal keras dan tegas, Abdul Malik sebenarnya memiliki perasaan yang lembut dan takut kepada Allah. Pada suatu ketika, ia berkhutbah dan berkata, "Ya Allah, sesungguhnya dosa-dosaku sangatlah besar, namun ia kecil dibanding kemaafan-Mu. Ya Allah Yang Mahamulia, ampunilah dosaku."

Sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir, seseorang berkata kepadanya, "Bagaimana perasaanmu?" Ia menjawab, "Aku mendapatkan diriku seperti yang difirmankan Allah (yang artinya): 'Dan sesungguhnya kalian datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kalian Kami ciptakan pada mulanya, dan kalian tinggalkan di belakang kalian (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepada kalian…' [QS. Al-An`âm: 94]."

Abdul Malik ibnu Marwan meninggal dunia pada tahun 86 H. dalam usia 60 tahun. Jenazahnya dishalatkan oleh anaknya, Al-Walid ibnu Abdul Malik.

[Sumber: Ensiklopedia Keluarga Muslim]

www.islamweb.net