Salah satu sisi positif terbesar Islam adalah bahwa ia merupakan sebuah agama yang komprehensif menyentuh seluruh dimensi kehidupan. Tidak ada pemisahan antara ibadah dengan akhlak, begitu juga antara ilmu dengan amal.
Tidak diragukan lagi bahwa di antara tujuan utama disyariatkannya ibadah dalam Islam—baik yang wajib maupun yang sunnah—adalah untuk menyucikan dan membersihkan diri seorang hamba, serta mengantarkannya ke puncak kemuliaan akhlak. Sehingga seorang muslim yang melaksanakan perintah Allah—Subhânahu wata`âlâ—diharapkan menjadi sosok yang paling baik akhlak, perilaku, dan kebiasaannya. Tujuan seperti ini bisa kita temukan dalam semua syi'ar dan rukun Islam.
Shalat yang merupakan rukun Islam paling penting setelah (bersyahadat) mengesakan Allah—Subhânahu wata`âlâ—merupakan sarana penyucian diri yang terpenting. Hal itu sebagaimana disinyalir dalam firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar." [QS. Al-`Ankabût: 45]
Oleh karena itu, ketika ada yang menceritakan kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—tentang seorang yang sepanjang malam mendirikan shalat namun pada siang harinya mencuri, beliau bersabda, "Apa yang engkau ceritakan (tentang dirinya) itu akan mencegahnya berbuat demikian." Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau bersabda, "Shalatnya akan mencegahnya (dari perilaku itu)." [HR. Ahmad; Menurut Al-Albâni: sanad-nya shahîh]
Jadi, shalat pada hakikatnya ibarat sebuah sarana penyucian dan pembersihan diri seseorang dari akhlak dan sifat yang buruk.
Begitu juga puasa. Di antara tujuan utama puasa adalah mewujudkan ketakwaan, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa." [QS. Al-Baqarah: 183]
Ketakwaan tidak akan terwujud dalam diri seseorang kecuali jika ia berperilaku baik kepada sesama hamba Allah—Subhânahu wata`âlâ. Karena itu, dalam sebuah hadits, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—menggandengkan pesan takwa dengan pesan berakhlak mulia dalam sabda beliau, "Bertakwalah engkau di manapun engkau berada, dan ikutilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapusnya. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik."
Sebagian orang mengira bahwa ibadah yang baik kepada Allah bisa menggugurkan kewajibannya untuk berakhlak mulia kepada orang lain. Karena itu, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—memberi arahan agar kita menggandengkan ketakwaan kepada Allah dengan perilaku yang baik kepada orang lain.
Baginda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga berpesan kepada orang yang berpuasa untuk berlaku santun dan berakhlak baik. Hal itu sebagaimana terkandung dalam sabda beliau, "Jika pada suatu hari salah seorang kalian berpuasa, janganlah ia melakukan tindakan rafats (berkata kotor) dan jangan pula bersuara keras. Jika seseorang menghina atau menyerangnya, hendaklah ia mengatakan, 'Aku sedang berpuasa'."
Zakat juga merupakan sebuah ibadah dan kewajiban yang menjadi sarana terpenting untuk membersihkan diri dari sifat pelit, kikir, dan egois. Di samping itu, zakat juga merupakan salah satu jalan untuk menanamkan nilai-nilai agung, serta menabur benih persatuan, kasih sayang, dan cinta. Oleh karena itu, Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, yang dengan zakat itu engkau membersihkan dan menyucikan mereka." [QS. At-Taubah: 103]
Sedangkan dalam rukun Islam kelima, yaitu menunaikan ibadah haji, kita juga menemukan pengaruh yang luar biasa dalam memperbaiki akhlak dan menyucikan diri seorang muslim. Bagaimana tidak? Bukankah Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—telah berfirman (yang artinya): "(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka ia tidak boleh melakukan rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di saat mengerjakan haji." [QS. Al-Baqarah: 197]
Menurut penjelasan Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, di antara tanda haji mabrur adalah: "Berbicara lembut dan memberi makan (orang lain)."
Pengaruh ibadah haji terhadap penyucian diri ini dapat kita saksikan dalam perilaku banyak jemaah haji ketika mereka benar-benar ingin memperoleh haji mabrur. Mereka berlaku lemah lembut di hadapan saudara-saudara mereka. Dalam pelaksanaan ritual haji, mereka juga bersabar menghadapi tindakan, sikap, dan ucapan saudara-saudara mereka, yang jika hal itu mereka hadapi di luar pelaksanaan haji niscaya mereka tidak akan bisa bersabar. Bahkan kita dapat melihat ada orang yang selama ihram sangat menjaga diri agar tidak berbantah-bantahan dan bersengketa. Ia tidak mau membalas tindakan buruk orang lain dengan tindakan serupa. Padahal jika tindakan itu dilakukan terhadapnya sebelum berihram, ia pasti akan marah dan tdiak mampu mengendalikan emosinya. Ibadah haji benar-benar berpengaruh terhadap akhlak dan tingkah lakunya.
Seandainya kaum muslimin dalam segala kondisi mereka meresapi hal ini dan menyadari tujuan di balik setiap ibadah yang mereka lakukan, niscaya akhlak mereka akan jauh lebih baik. Masyarakat muslim juga akan menikmati suasana yang dipenuhi oleh cinta dan kasih sayang dalam pergaulan hidup.
Namun, realita yang kita saksikan membuat orang meyakini bahwa sebagian muslim hanya mendapatkan manfaat sesaat dan temporal dari ibadah yang ia lakukan. Pengaruh ibadah yang ia lakukan tidak kekal dan berkelanjutan. Hal ini, pada dasarnya adalah efek dari kesalahan dalam penerapan ibadah itu sendiri. Dan ini perlu diperbaiki dengan mengingat bahwa di antara tujuan terpenting dari ibadah adalah untuk menyucikan diri serta menjauhkannya dari akhlak yang buruk dan perkara yang sia-sia.