Hukum-hukum Shalat bagi Musafir 1

25/12/2024| IslamWeb

Muqaddimah

Shalat adalah tiang agama Islam, rukunnya yang paling agung setelah Dua Kalimat Syahadat, sekaligus penghubung antara seorang hamba dengan Tuhannya—`Azza wajalla. Banyak nash-nash yang menjelaskan keutamaan shalat dan kedudukannya yang jika disebutkan akan sangat panjang, dan kami tidak bermaksud membahas tentang hal itu dalam tulisan ini.

Syariat meringankan sebagian hukum-hukum shalat dalam kondisi-kondisi tertentu, untuk memberi kemudahan bagi para hamba Allah dan menghindarkan mereka dari kesulitan. Di antara kondisi tersebut adalah ketika dalam safar (perjalanan), karena safar biasanya mengandung kesulitan. Mengingat pada zaman sekarang kita sering melakukan safar, maka penulis melihat perlu kiranya untuk menyebutkan beberapa hukum shalat bagi seorang musafir. Hukum-hukum ini telah dikumpulkan oleh salah seorang saudara kita—Semoga Allah memberikan pahala kebaikan kepadanya. Dan sumbernya adalah fatwa-fatwa Syaikh Muhammad ibnu `Utsaimin—Semoga Allah menyucikan ruhnya.

Hukum Adzan dalam Perjalanan

Masalah ini masih diperselisihkan hukumnya oleh para ulama. Pendapat yang benar adalah bahwa adzan adalah wajib bagi para musafir. Dasar pendapat ini adalah bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—pernah bersabda kepada Malik ibnul Huwairits dan para sahabatnya: "Jika masuk waktu shalat hendaklah salah seorang di antara kalian mengumandangkan adzan untuk kalian." Ini beliau ucapkan ketika mereka datang berkunjung kepada beliau dan hendak pulang kepada keluarga mereka.

Selain itu, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga tidak pernah meninggalkan adzan dan iqamah, baik ketika sedang bermukim maupun ketika safar. Adzan selalu dikumandangkan pada saat beliau dalam perjalanan. Beliau memerintahkan Bilal—Semoga Allah meridhainya—untuk mengumandangkannya.

Orang yang Tidak Tahu Arah Qiblat atau Tidak Menemukan Air, Apakah Boleh Menunda Shalat?

Shalat harus dilaksanakan pada waktunya. Ini berdasarkan firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." [QS. An-Nisâ': 103]

Apabila shalat wajib dilaksanakan pada waktunya, maka seorang muslim wajib melaksanakan semua yang diwajibkan di dalam pelaksanannya sesuai dengan kemampuannya. Ini berdasarkan firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian." [QS. At-Taghâbun: 16]. Juga sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—kepada `Imrân ibnu Hushain, "Lakukanlah shalat dengan berdiri. Jika engkau tidak mampu, lakukanlah dengan duduk, dan jika engkau tidak mampu (duduk), lakukanlah dengan berbaring."

Dalil lain tentang kewajiban menunaikan shalat pada waktunya adalah bahwa Allah—`Azza wajalla—memerintahkan kita untuk melaksanakan shalat walaupun dalam kondisi perang. Seandainya menunda shalat dari waktunya boleh bagi orang yang tidak mampu menunaikan syarat-syarat, rukun-rukun, dan kewajiban-kewajiban dalam shalat, tentu Allah—Subhânahu wata`âlâ—tidak akan mewajibkan shalat dalam kondisi perang.

Jarak yang Dibolehkan untuk Meng-qashar Shalat

Sebagian ulama menyatakan bahwa jarak minimun untuk dibolehkannya meng-qashar shalat adalah sekitar depalan puluh tiga kilometer. Sebagian ulama yang lain menetapkan bahwa jarak minimun itu adalah semua perjalanan yang dalam kebiasaan masyarakat disebutan sebagai safar, walaupun tidak sampai delapan pulun kilometer; sedangkan apa yang tidak disebut oleh masyarakat sebagai safar tidaklah termasuk perjalanan yang dibolehkan qashar di dalamnya, walaupun mencapai seratus kilometer.

Pendapat terakhir ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah—Semoga Allah merahmatinya, karena Allah—Subhânahu wata`âlâ—tidak menentukan jarak tertentu yang dibolehkan meng-qashar shalat di dalamnya. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—pun tidak menentukan jarak tertentu dalam masalah ini.

Anas ibnu Malik—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—apabila bepergian sejauh tiga mil atau farsakh, beliau meng-qashar shalat (menjadi) dua rakaat."

Pendapat Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah—Semoga Allah merahmatinya—ini lebih dekat kepada kebenaran. Apabila terjadi perbedaan tradisi dalam penyebutan istilah safar, seseorang boleh mengambil pendapat yang menentukan (jarak delapan puluh tiga kilometer), karena itu juga dikatakan oleh sebagian imam dan ulama mujtahid. Jadi, tidak ada masalah insyâ'Allâh. Tetapi selama tidak ada perbedaan tradisi dalam hal itu, maka kembali kepada istilah kebiasaan adalah lebih utama.

Kapan Seorang Musafir Mendapat Keringanan (Rukhsah) Safar?

Para ulama—Semoga Allah merahmati mereka—menyebutkan bahwa tidak disyaratkan untuk melakukan qashar dan jamak shalat (ketika sudah dibolehkan) bahwa seseorang harus sudah pergi jauh dari negerinya, namun dengan sekedar keluar dari batas negerinya, ia sudah boleh melakukan itu. Hukum-hukum safar mulai berlaku ketika seorang musafir meninggalkan perkampungannya dan keluar dari desanya atau kotanya, walaupun ia masih bisa melihatnya. Tetapi ia tidak boleh menjamak shalat sehingga ia meninggalkan perkampungannya, kecuali jika khawatir akan mendapat kesulitan melaksanakan shalat berikutnya pada saat safar.

Rukhsah-rukhsah (Keringanan) dalam Safar

1.    Shalat yang empat rakaat dilaksanakan dua rakaat;

2.    (Boleh) tidak berpuasa pada bulan Ramadhân, tetapi wajib meng-qadhâ'-nya pada hari-hari yang lain;

3.    Mengusap khuf (kaus kaki kulit) dalam berwudhu selama tiga hari tiga malam, dihitung dari awal mulai mengusap;

4.    Gugurnya perintah shalat sunnah rawatib Zhuhur, Maghrib, dan Isya. Adapun sunnah rawatib Shubuh dan shalat-shalat sunnah yang lain tetap disyariatkan dan disunnahkan;

5.    Menjamak dua shalat yang boleh dijamak, yaitu shalat Zhuhur dengan Ashar, atau Maghrib dengan Isya. Tetapi tidak boleh menunda dua shalat yang dijamak dari waktu shalat yang kedua. Jadi, tidak boleh menunda jamak Zhuhur dengan Ashar hingga terbenam matahari, dan menunda jamak Maghrib dengan Isya hingga setelah pertengahan malam.

Orang yang Selalu Melakukan Safar, Apakah Mendapat Rukhsah Safar?

Qashar shalat tergantung pada ada atau tidaknya safar (perjalanan) yang dilakukan. Selama seseorang masih menjadi musafir, ia dibolehkan melakukan qashar shalat, baik safarnya jarang dilakukan atau sangat sering, jika ia memiliki negeri tempat ia kembali, dan diketahui bahwa itu adalah negerinya.

Musafir Tinggal di Negeri yang Bukan Negeri Asalnya (dengan Niat Menetap)

Jika seseorang tinggal di sebuah daerah dengan niat menetap di sana, yaitu pindah dari negeri asalnya secara total, maka hukumnya sama dengan hukum penduduk asli daerah itu dalam segala hal. Ia tidak mendapatkan rukhsah safar di negeri tempat pindahnya itu. Namun ia mendapat rukhsah jika melakukan safar dari negeri tersebut, walaupun tujuannya adalah negeri asalnya. Misalnya, seseorang yang negeri asalnya Mekah, lalu pindah dan menetap di Madinah, maka ia dianggap seperti penduduk asli Madinah. Jika ia melakukan safar ke Mekah untuk umrah, haji, menuntut ilmu, mengunjungi kerabat, berdagang, atau urusan yang lainnya maka hukumnya di Mekah sama dengan hukum para musafir, walaupun ia pernah menikah dan tinggal di sana sebelumnya. Ini seperti yang dilakukan oleh Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—di Mekah pada saat Fathu Makkah dan Haji Wada`, padahal beliau sebelumnya menikah dan tinggal di sana.

Apakah (Kewajiban) Shalat Berjamaah Gugur bagi Musafir?

Shalat berjamaah tidak gugur bagi musafir, karena Allah—Subhânahu wata`âlâ—juga memerintahkan itu dalam kondisi perang. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan apabila engkau berada di tengah-tengah mereka (para shahabat) lalu engkau hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, hendaklah segolongan dari mereka berdiri (mengerjakan shalat) bersamamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh), dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum mengerjakan shalat, lalu mengerjakan shalat bersamamu." [QS. An-Nisâ': 102]

Berdasarkan ini, jika seorang musafir berada di negeri yang bukan negerinya, ia tetap wajib melakukan shalat berjamaah di masjid ketika mendengar adzan, kecuali jika lokasinya jauh dari masjid atau khawatir tertinggal oleh rombongannya. Ini berdasarkan pada keumuman dalil yang menunjukkan kewajiban shalat berjamaah bagi orang yang mendengar adzan atau iqamah.

www.islamweb.net