Oleh: Syaikh Shalih ibnu Fauzan Al-Fauzan
Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah." Potongan ayat ini mengandung dua hal penting, yaitu:
1. Perintah untuk menyempurnakan haji dan umrah, yaitu dengan melaksanakan semua rangkaian ritual haji, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, bukan seperti yang disebutkan oleh fulan dan difatwakan oleh fulan. Karena ada sebagian orang yang mengaku berilmu pada zaman sekarang mengarahkan kaum muslimin untuk mengambil berbagai keringanan yang difatwakan oleh para ulama sebagai hasil ijtihad mereka, bukan keringanan syar`i yang telah diberikan oleh Allah untuk para hamba-Nya. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—bersabda, "Sesungguhnya Allah suka jika keringanan-keringan yang diberikan-Nya dilaksanakan, sebagaimana Allah benci bila dilakukan maksiat (dosa) kepada-Nya."
Mereka ini ingin menambahkan keringanan-keringanan yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan mengatakan bahwa fulan mengatakan begini dan fulan menfatwakan begitu. Inilah penyebab hancurnya Bani Israil dahulu. Mereka menjadikan para rahib dan ulama mereka sebagai tuhan selain Allah. Lalu para rahib itu menghalalkan kepada mereka hal-hal yang diharamkan oleh Allah, dan mengharamkan hal-hal yang dihalalkan-Nya. Oleh karena itu, diwajibkan bagi semua jemaah haji untuk menghindari hal-hal tersebut, dan melaksanakan ibadah haji sebagaimana yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tatkala Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—melaksanakan haji bersama para shahabat, beliau berkata, "Ambillah tata-cara ibadah haji kalian dari contoh yang aku berikan."
Jadi, yang wajib kita lakukan adalah mengambil tata-cara haji kita dari Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—melalui sunnahnya yang mulia. Dan ini hendaknya dilakukan dengan tenang. Kita dapat mencari waktu yang tepat untuk melaksanakan berbagai amalan haji itu, tanpa perlu tergesa-gesa dan mempertaruhkan keselamatan diri. Allah telah melapangkan waktu pelaksanaan amalan-amalan haji, sehingga setiap muslim dapat melaksanakan ritual-ritual haji pada waktunya, baik di awal waktu, di pertengahannya, maupun di akhirnya. Namun praktik manusialah yang membuat sempit waktu pelaksanaan ritual-ritual itu, atau mempersempit tempat pelaksanaannya.
Karena itu, setiap muslim hendaknya berpikir bagaimana dapat melaksanakan ibadah haji dengan cara yang benar sesuai dengan kemampuannya, walaupun harus terlambat melaksanakan beberapa amalan, selama tidak keluar dari waktu yang telah ditetapkan.
Pada kenyataannya, sebagian orang, atau bahkan kebanyakan orang ingin pulang ke kampung halaman mereka bersama rombongan pertama, walaupun itu harus mengorbankan beberapa bagian ibadah haji mereka. Bahkan ada yang mewakilkan sebagian amalan hajinya, lalu meninggalkan tanah suci, sehingga ibadah hajinya pun tidak terlaksana sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah. Padahal ia telah mengeluarkan uang yang banyak untuk melakukan perjalanan, dan harus menanggung letih yang luar biasa. Ini tentu merupakan permainan Syetan dan nafsu yang mengajak kepada keburukan.
Selain itu, sebagian orang ada yang mencampuri ibadah hajinya dengan ritual-ritual bid'ah yang bukan bagian dari haji, seperti mengunjungi tempat-tempat yang dianggap suci, sehingga waktu, harta, dan tenaga mereka terbuang sia-sia. Akibatnya, manasik haji pun menjadi rusak, hanya karena ingin menjalani tradisi, atau mengikuti ajakan para pelaku bid`ah dan kesesatan. Mereka tidak mempelajari fikih haji secara baik, agar mampu menjalankannya sesuai dengan perintah Allah, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): "Dan sempurnakanlah haji."
Orang-orang seperti di atas telah merusak haji mereka karena mencampurinya dengan perbuatan-perbuatan bid`ah dan khurafat yang mengurangi nilainya, atau bahkan dapat membatalkannya. Ini diakibatkan oleh taklid buta dan berpaling dari sabda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam, "Ambillah tata-cara ibadah haji kalian dari contoh yang aku lakukan."
2. Firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Karena Allah" dalam ayat di atas berarti ikhlas dalam melaksanakan ibadah haji. Yaitu ikhlas karena Allah, tanpa diiringi oleh riya dan sum`ah, serta bukan untuk mencari kemaslahatan duniawi. Sebab jika ibadah haji dan amalan-amalan lainnya tidak dilakukan dengan ikhlas, ia tidak akan diterima. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)." [QS. Az-Zumar: 3]
Semua ritual haji dan ucapan yang dibaca di dalamnya tertuju kepada Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ. Misalnya, ucapan talbiyah: "Labbaika lâ syarîkalak" (Kami penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu). Ketika di Arafah, sebaik-baik doa yang diucapkan oleh Rasulullah dan para nabi sebelumnya adalah: "Lâ ilâha illallâh wahdahu lâ syarîkalah lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa `alâ kulli syai'in qadîr." (Tidak ada Dzat yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Milik Allah segenap kerajaan dan pujian. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu). Ketika memegang Hajar Aswad atau memberikan isyarat kepadanya di awal thawaf, kita mengucapkan: "Allâhu akbar" (Allah Maha Besar). Di atas bukit Shafa dan Marwah ketika sa`i, kita juga mengucapkan: "Lâ ilâha illallâh wahdahu lâ syarîkalah lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa `alâ kulli syai'in qadîr." Begitu pula ketika melempar setiap kerikil dalam melontar jamrah, kita mengucapkan: "Allâhu akbar".
Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sesungguhnya thawaf di sekeliling Ka`bah, sa`i antara Shafa dan Marwah, serta melempar jamrah semata-mata adalah untuk mengingat Allah."
Jadi, haji dibangun di atas nilai tauhid dan keikhlasan karena Allah. Seorang yang melaksanakan haji tidak boleh meminta tolong kepada nabi, wali, atau makhluk apa pun. Ia juga tidak boleh meminta keberkahan kepada pohon, batu, gunung, rumah tempat kelahiran siapa pun, dan tidak juga dengan atau peninggalan orang-orang shalih mana pun. Selain itu, Ia tiadak boleh thawaf di sekeliling sebuah bangunan, kuburan, dan tempat apa pun selain Ka`bah yang mulia, sebagaimana firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ— (yang artinya): "Dan hendaklah mereka melakukan thawaf di sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)." [QS. Al-Hajj: 29]
Di antara bentuk menyempurnakan penyempurnaan ibadah haji yaitu adalah menjauhi rafats (jimakperkataan dan perbuatan kotor), berbantah-bantahanperdebatan, serta serta semua bentuk kefasikan, (dosa) dan kemaksiatan. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ— berfirman (yang artinya): "Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan untuk mengerjakan haji, maka ia tidak boleh melakukan rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji." [QS. Al-Baqarah: 197], ]. dan
Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—juga bersabda, "Barang siapa yang melaksanakan haji karena Allah, kemudian tidak melakukan rafats (berkataperbuatan atau kata-kata kotor) dan tidak pula melakukan fusuq kefasikan (durhakadosa), maka ia akan kembali suci dari dosanya seperti bayi yang baru dilahirkan dari kandungan oleh ibunya". ([HR Al-Bukhâri dan Muslim)]
Maka hendaklah kita Mari merasakan meresapi keagungan ibadah haji, dan melaksanakannya menurut sebagaimana apa yang telah disyariatkan oleh Allah, dan sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah, tanpa memandang kepada perkataan si fulan, dan si fulan siapa pun yang bertentangan dengan petunjuk Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam.