Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Pertama, kami sampaikan bahwa seorang muslim apabila berijtihad dan mencurahkan segala kemampuannya untuk mencapai hukum Allah—Subhânahu wa Ta`âla—dan melaksanakannya, namun ternyata ia salah dalam ijtihadnya, tanpa ada unsur kelalaian dan tanpa mengikuti hawa nafsu, maka ia dianggap telah terbebas dari tanggung jawab, dan ia mendapatkan pahala—Insyâ'allâh.
Kemudian dalam masalah pemilihan pemimpin, terutama di masa kita sekarang, tidak ada yang diwajibkan bagi seorang muslim kecuali berusaha memilih yang terbaik di antara para calon yang ada, walaupun ada terlihat beberapa aib dan dosa pada dirinya, tapi hanya inilah yang dapat dilakukan. Dan Allah tidak membebani seorang pun kecuali sesuai dengan kemampuannya.
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah berkata dalam kitab As-Siyâsah Asy-Syar`iyyah:
"Tidak ada kewajibannya kecuali memilih yang terbaik dari yang ada. Dan boleh jadi pada kenyataannya tidak ada yang dianggap ideal untuk jabatan tersebut, maka pada saat itu, hendaklah ia memilih yang paling baik secara berurutan untuk setiap jebatan sesuai kebutuhan. Jika ia sudah melakukan itu setelah berijtihad secara sempurna, dan ia telah menyerahkan jabatan kepada yang berhak memangkunya, berarti ia telah menunaikan amanah dan kewajibannya dalam hal itu. Dan dalam hal ini, ia sudah termasuk pemimpin yang adil di sisi Allah, walaupun terdapat kekurangan pada sebagian hal disebabkan pihak-pihak lain, apabila memang tidak ada kemungkinan selain pilihan itu. Karena Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): 'Maka bertakwalah kalian kepada Allah sesuai kemampuan kalian.' [QS. At-Taghâbun: 16]; 'Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.' [QS. Al-Baqarah: 286]; 'Maka berperanglah engkau di jalan Allah, tidaklah engkau dibebani melainkan dengan kewajibanmu sendiri. Kobarkanlah semangat orang-orang yang beriman (untuk berperang).' [QS. An-Nisâ': 84]; 'Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila engkau telah mendapat petunjuk.' [QS. Al-Mâ'idah: 105].
Maka barang siapa yang sudah melaksanakan kewajiban yang ia mampu, berarti telah mendapatkan hidayah. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: 'Jika aku memerintahkan kepada kalian suatu perkara maka kerjakanlah semampu kalian.' [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Namun jika ada kelemahan dari dirinya tanpa ada unsur keterpaksaan, atau ada pengkhianatan dari dirinya, maka ia akan dihukum karena faktor itu. Dan ia harus mengetahui mana yang paling baik untuk setiap jabatan, karena kekuasaan mempunyai dua rukun: kekuatan dan amanah (kejujuran), sebagaimana disebutkan dalam firman Allah (yang artinya): 'Sesungguhnya orang terbaik yang engkau ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi amanah (dapat dipercaya).' [QS. Al-Qashash: 26]. Penguasa Mesir berkata kepada Yûsuf—`Alaihissalâm: 'Sesungguhnya engkau (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya di sisi kami.' [QS. Yûsuf: 54]. Dan kekuatan dalam masing-masing jabatan tergantung kebutuhan."
Adapun kriteria dalam memilih, dijelaskan dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âla—(yang artinya):
Syaikhul Islâm juga berkata, "Kepemimpinan mempunyai dua rukun: kekuatan dan amanah. Kekuatan dalam memerintah manusia terletak pada pengetahuan tentang keadilan yang ditunjukkan oleh Kitab dan Sunnah, serta kemampuan untuk menerapkan hukum-hukum. Adapun amanah (kejujuran) merujuk kepada rasa takut kepada Allah."
As-Sa`di berkata, "Inilah dua kriteria yang harus diperhatikan pada setiap orang yang akan mengemban amanah dari orang banyak. Sesungguhnya kerusakan tidak terjadi kecuali karena ketiadaan kedua kriteria ini atau salah satunya. Adapun apabila keduanya terwujud, maka pekerjaan akan terselesaikan dan sempurna."
Jika kebaikan yang ada pada para calon berbeda-beda antara unsur 'kekuatan' dan 'amanah', maka hendaklah dipertimbangkan antara maslahat (kebaikan) dan mafsadat (keburukan), sesuai dengan bentuk jabatan yang akan diserahkan kepadanya dan apa target yang ingin dicapai. Pada hukum asalnya, kekuatan dan kemampuan harus didahulukan untuk merealisasikan tujuan kepemimpinan, selama kekurangan pada sisi amanah (kejujuran) tidak merugikan pihak selain pemiliknya sendiri.
Syaikhul Islâm berkata;
"Bersatunya kekuatan dan amanah dalam diri manusia adalah hal yang jarang terjadi. Oleh karena itu, Umar ibnul Khaththâb—Semoga Allah meridhainya—berkata: 'Ya Allah, aku mengadukan kepada-Mu kuatnya orang yang pendosa, dan lemahnya orang yang terpercaya'. Atas dasar itu, adalah wajib memberikan kepemimpinan kepada orang yang terbaik sesuai bidangnya. Jika ada dua orang calon pemimpin, yang pertama lebih amanah, sedangkan yang kedua lebih kuat, maka harus didahulukan mana yang lebih bermanfaat di antara mereka berdua untuk bidang kepemimpinan itu, atau mana yang lebih sedikit bahayanya. Maka dalam kepemimpinan perang, harus didahulukan orang yang kuat lagi pemberani—walaupun ia banyak dosa—daripada orang yang lemah dan tidak berdaya, walaupun ia amanah. Sebagaimana Imam Ahmad pernah ditanya tentang dua orang lelaki yang menjadi pemimpin dalam perang, salah satunya kuat tetapi pendosa, sementara yang kedua shalih tapi lemah, siapa yang harus diikuti dalam berperang? Maka ia berkata: 'Adapun pendosa yang kuat, kekuatannya untuk Umat Islam, dan dosanya untuk dirinya. Sedangkan orang shaleh yang lemah, kesalihannya untuk dirinya dan kelemahannya untuk Umat Islam. Maka berperanglah dengan orang kuat yang pendosa'.
Oleh karena itu, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—menggunakan Khâlid ibnul Walid dalam perang sejak ia memeluk Islam, dan beliau bersabda: 'Sesungguhnya Khâlid adalah pedang yang Allah hunuskan kepada orang-orang musyrik'. Walaupun ia terkadang melakukan tindakan-tindakan yang diingkari oleh Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, sehingga beliau pernah berdiri dan mengangkat tangannya ke langit seraya bersabda: 'Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dilakukan oleh Khâlid'.
Walaupun demikian, beliau tetap mendahulukannya dalam kepemimpinan perang, karena ia lebih baik dalam bidang ini daripada para shahabat yang lain, dan ia melakukan tindakan-tindakannya itu berdasarkan takwil (ijtihad).
Abu Dzar—Semoga Allah meridhainya—lebih baik daripadanya dalam hal amanah dan kejujuran, namun demikian, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda kepadanya: 'Hai Abu Dzar, sesungguhnya aku melihatmu lemah, dan sesungguhnya aku menyukai untuk dirimu apa yang aku sukai diriku sendiri. Janganlah engkau memimpin (walau hanya) dua orang, dan janganlah engkau mengelola harta anak yatim.' [HR. Muslim]. Beliau melarang Abu Dzar dari menduduki posisi kepemimpinan, karena beliau melihatnya lemah, padahal beliau pernah bersabda tentangnya: 'Tidak ada satu makhluk pun di bawah langit dan di atas bumi yang lebih jujur perkataannya daripada Abu Dzar'."
Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—memerintahkan juga lebih memilih `Amr ibnul `Âsh sebagai pemimpin perang Dzâtu As-Salâsil daripada para shahabat lain yang lebih baik daripadanya, demi meluluhkan hati kaum kerabatnya yang menjadi objek tujuan perang itu. Beliau juga menunjuk Usamah ibnu Zaid sebagai pimpinan dalam suatu perang, untuk membalas kematian ayahnya.
Demikianlah, beliau memandatkan kepemimpinan kepada seseorang untuk suatu kemaslahatan yang pasti, walaupun di sampingnya ada orang yang lebih baik daripadanya dalam hal ilmu dan keimanan.
Jika kebutuhan dalam jabatan itu lebih kepada amanah (kejujuran), maka yang diutamakan adalah orang yang amanah. Misalnya dalam tugas menjaga harta dan semisalnya. Adapun untuk mengambil harta itu dari sumbernya yang sah serta menjaganya, tentu membutuhkan kekuatan dan amanah sekaligus. Untuk tugas ini, harus dipilih orang yang keras dan kuat untuk mengambilnya dengan kekuatannya, serta seorang penulis yang amanah untuk menjaganya dengan pengalaman dan kejujurannya.
Demikian juga dalam kepemimpinan perang. Jika seorang komandan memimpin dengan bermusyawarah bersama ahli ilmu dan Agama, berarti ia telah mengumpulkan dua kebaikan sekaligus. Begitu seterusnya di semua bidang kepemimpinan, jika maslahat tidak dapat terwujud dengan satu orang, maka harus dikumpulkan beberapa orang. Jadi, harus dilakukan pemilihan orang yang paling baik, atau harus ditugaskan beberapa orang pejabat jika satu orang tidak cukup.
Seorang ulama pernah ditanya: Jika tidak ada orang yang pantas memimpin peradilan kecuali orang berilmu yang fasik atau orang bodoh yang taat beragama, mana yang harus didahulukan? Ia menjawab: Jika kebutuhan kepada Agama lebih banyak karena banyaknya kerusakan yang dihadapi, maka dahulukanlah yang taat beragama. Tapi jika kebutuhan kepada ilmu lebih banyak karena rumitnya permasalahan, maka dahulukanlah yang berilmu.
Walaupun dalam situasi terpaksa dibolehkan menyerahkan kepemimpinan kepada orang yang bukan ahlinya, jika ia merupakan orang terbaik di antara yang ada, namun bersamaan dengan itu, harus ada usaha untuk memperbaiki kondisi, sehingga terwujudlah secara sempurna segala kebutuhan manusia dalam perkara-perkara kepemimpinan, pemerintahan, dan semisalnya. Sebagaimana orang yang kesulitan secara ekonomi tetap harus berusaha untuk menunaikan utangnya, walaupun pada saat itu, ia tidak dituntut kecuali sekedar yang ia sanggupi. Sebagaimana juga kita wajib bersiap untuk melakukan jihad dengan mempersiapkan kekuatan dan kuda perang, dan pada saat yang sama, kewajiban itu gugur bagi orang yang tidak mampu melakukannya. Karena sesuatu yang ketiadaannya membuat tidak terlaksananya perkara yang wajib berarti hukumnya juga wajib."
Adapun cara untuk mengetahui mana orang yang paling baik, Syaikhul Islâm merangkumnya dalam perkataannya: "Hal yang terpenting dalam masalah ini adalah mengetahui mana orang yang terbaik. Hal itu dapat diketahui dengan mengetahui tujuan kepemimpinan serta mengetahui jalan yang diinginkan. Jika tujuan-tujuan dan sarana-sarana itu diketahui, maka perkaranya pun akan selesai. Tujuan yang wajib dalam kepemimpinan adalah: (Pertama), memperbaiki Agama manusia yang jika terabaikan akan membuat mereka mengalami kerugian nyata dan tidak akan ada gunanya berbagai kenikmatan yang mereka dapatkan di dunia. (Kedua), memperbaiki perkara dunia mereka yang membantu tegaknya Agama mereka, dan ini terbagi dua: membagikan harta kepada mustahiknya, dan menghukum orang-orang yang melanggar aturan. Maka barang siapa yang tidak melanggar, berarti Agamanya dan dunianya berjalan baik. Oleh karena itu, Umar ibnul Khaththâb pernah berkata: 'Sesungguhnya aku mengutus pegawai-pegawaiku kepada kalian untuk mengajarkan kalian Kitab Tuhan kalian dan sunnah Nabi kalian, serta membagikan fai' (harta rampasan) kalian di antara kalian'. Ketika rakyat berubah di satu sisi, dan pemimpin berubah di sisi yang lain, maka perkara-perkara pun akan bertabrakan. Jika seorang pemimpin berijtihad untuk memperbaiki Agama dan dunia rakyatnya sekuat kemampunya, maka ia pun akan tergolong manusia terbaik di masanya, dan ia termasuk ke dalam daftar mujahid terbaik di jalan Allah."
Terakhir, kami ingatkan perlunya Anda bermusyawarah dengan para ulama dan orang-orang berpengalaman di negeri Anda, karena mereka jelas lebih tahu tentang kondisi di sana, kondisi orang-orang yang ada di dalamnya, dan siapa yang sesuai untuk memimpinnya. Kami berdoa semoga Allah senantiasa memperbaiki kondisi Umat Islam dan menjadikan orang-orang terbaik sebagai pemimpin mereka.
Wallâhu a`lam.