Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Irâdah (keinginan) Allah terbagi kepada dua bagian:
Pertama, Irâdah Kauniyyah Qadariyyah (keinginan Allah yang terkait hukum alam dan takdir). Inilah yang disebut dengan masyî`ah (kehendak) Allah. Ciri-cirinya ada dua yaitu:
· Irâdah ini harus terjadi;
· Irâdah ini bisa jadi berupa hal-hal yang disukai Allah, dan bisa jadi pula berupa hal-hal yang tidak disukai-Nya.
Misalnya adalah firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—terhadap Nabi Nûh—`Alaihis salâm—(yang artinya): "Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasihatku jika aku hendak memberi nasihat kepadamu, sekiranya Allah hendak menyesatkanmu Dia adalah Tuhanmu dan kepada-Nya-lah engkau dikembalikan". [QS. Hûd: 34]
Kedua, Irâdah Dîniyyah Syar'iyyah (keinginan Allah yang terkait keagamaan dan syariat). Inilah yang disebut dengan mahabbah (cinta). Ciri-cirinya ada dua yaitu:
· Irâdah ini bisa jadi terjadi dan bisa jadi tidak terjadi;
· Irâdah ini hanya berupa hal-hal yang disukai dan diridhai oleh Allah.
Misalnya adalah firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Dan Allah hendak menerima tobat kalian." [QS. An-Nisâ': 27]
Dari pembagian ini, dapat kita simpulkan jawaban untuk pertanyaan di atas, yaitu bahwa Allah benar menginginkan terjadinya keterbelakangan untuk umat Islam dari bangsa-bangsa lain secara kauniyyah dan qadariyyah, karena semua kejadian di alam ini terjadi atas kehendak Allah. Sebagaimana firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya):
· "Maka jika Dia menghendaki pasti Dia memberi petunjuk kepada kalian semua." [QS. Al-An`âm: 149];
· "Seandainya Allah menghendaki tidaklah mereka akan berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya." [QS. Al-Baqarah: 253]
Dalam bahasa lain, secara hukum Agama dan Syariat, Allah tidak menginginkan keterbelakangan umat Islam dari bangsa-bangsa lain, karena Allah tidak menyukai hal tersebut. Sebaliknya, Allah menginginkan umat Islam menjadi pemimpin bagi bangsa-bangsa lain, dengan cara mewujudkan keimanan dan ketaatan kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Janganlah kalian bersikap lemah, dan janganlah (pula) kalian bersedih hati, padahal kalianlah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kalian orang-orang yang beriman." [QS. Ali 'Imrân: 139]
Berdasarkan kesimpulan yang terakhir ini, maka umat Islam bertanggung jawab atas terjadinya keterbelakangan dan kecenderungan untuk mengekor kepada negara-negara kafir saat ini. Mereka bertanggung jawab karena tidak berusaha menempuh jalan-jalan yang seharusnya membuat mereka menjadi kuat dan maju. Sebab mereka dituntut secara Syariat untuk mempergunakan semua sarana pendukung kemajuan dan kejayaan itu.
Dan satu hal yang perlu kami ingatkan adalah bahwa keberadaan Irâdah Kauniyyah Qadariyyah tidak menjadi hujjah bagi manusia untuk melakukan maksiat dan berbuat dosa. Karena Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—mengingkari perilaku orang-orang musyrik yang berhujjah seperti demikian. Sebagaimana tercantum dalam firman–Nya (yang artinya): "Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: 'Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) mengharamkan sesuatu apa pun'. Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: 'Adakah kalian mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kalian mengemukakannya kepada Kami?' Kalian tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kalian tidak lain hanyalah berdusta." [QS. Al-An`âm: 148]
Kesimpulan jawaban bagi pertanyaan di atas adalah bahwa Allah tidak menginginkan adanya keterbelakangan umat Islam secara Agama dan Syariat, walaupun hal ini tetap terjadi secara kauniyyah (hukum alam) sesuai dengan kehendak-Nya.
Wallâhu a'lam.