Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Jabatan kepemimpinan dan posisi tertinggi harus dipegang oleh kaum laki-laki yang cakap. Oleh karena itu, para ulama telah sepakat mensyaratkan kepemimpinan tertinggi Islam (khalifah) harus dipegang oleh laki-laki, sehingga tidak sah dipegang oleh wanita. Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakrah—Semoga Allah meridhainya, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada seorang wanita." [HR. Al-Bukhâri dll.]
Demikian juga dengan jabatan-jabatan tinggi, seperti kehakiman,jumhur (mayoritas) ulama mensyaratkan harus dipegang oleh laki-laki.
Al-Hâfizh (Ibnu Hajar) berkata, "(Para ulama) telah sepakat mensyaratkan lak-laki untuk menjadi qâdhi (hakim), kecuali mazhab Hanafi, tetapi mereka juga mengecualikan masalah hudud. Sedangkan Ibnu Jarîr tidak mensyaratkannya sama sekali." [Fathul Bâri]
Ibnu Rusyd berkata, "Jumhur ulama berpendapat bahwa laki-laki adalah syarat sahnya suatu pemerintahan. Abu Hanifah berkata: 'Seorang wanita boleh menjadi hakim dalam masalah harta'. Ath-Thabari berkata: 'Boleh (seorang wanita) menjadi hakim secara mutlak dalam segala urusan'." [Bidâyatul Mujtahid]
Al-Khalîl dari mazhab Maliki berkata dalam, "Seorang hakim harus adil dan laki-laki." [Mukhtashar Al-Khalîl]
`Ulaisy, penulis kitab Minahul Jalîl, berkata, "Tidak sah kepemimpinan seorang wanita."
Berdasarkan hal ini, maka tidak boleh mempercayakan kepada wanita untuk menduduki jabatan-jabatan tertinggi, karena akan menyebabkan bercampurnya laki-laki dengan perempuan, khalwat, dan tanggungan beban berat yang tidak sesuai dengan karakter seorang wanita.
Adapun jabatan-jabatan rendah yang mampu dilaksanakan dan diatur dengan baik oleh wanita, tidak ada halangan untuk mempercayakan kepadanya—Insyâ'allâh, misalnya: manajemen rumah sakit atau sekolah. Umar ibnul Khaththâb—Semoga Allah meridhainya—pernah mengangkat Asy-Syifa' bintu Abdillâh Al-`Adawiyyah—Semoga Allah meridhainya—untuk memimpin tugas hisbah (pengawasan Syariat) di pasar Madinah. Hal itu disebutkan oleh Al-Hâfizh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Ishâbah, ketika berbicara tentang biografi Asy-Syifa'. Namun, itu dengan syarat tidak menyebabkan terjadinya khalwat atau ikhtilat (bercampurbaurnya laki-laki dengan perempuan) yang diharamkan dalam Syariat.
Adapun yang disebutkan oleh saudara penanya tentang pekerjaan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—dalam menjalankan perniagaan Khadijah, tidaklah dapat dijadikan sebagai alasan dan dalil dalam masalah ini, karena dua sebab: Pertama, hal itu terjadi sebelum masa kenabian; Kedua, memperdagangkan harta seorang wanita tidak berarti bahwa wanita tersebut menjadi pemimpin atas laki-laki.
Wallâhu a`lam.