Segala puji bagi Allah. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah, beserta keluarga, dan para shahabat beliau. Ammâ ba`d.
Sesungguhnya shalat ghaib atas orang muslim yang wafat di negara lain hukumnya adalah boleh, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhâri dan Muslim bahwasanya Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—melaksanakan shalat ghaib bersama para shahabat beliau atas Raja Najasyi yang wafat di Habasyah.
Jadi, boleh shalat ghaib atas setiap orang yang jenazahnya dishalatkan, yaitu setiap muslim yang wafat, baik laki-laki, maupun perempuan, dan baik anak kecil, maupun orang dewasa, menurut kesepakatan para ulama.
Sedangkan orang yang mati syahid (yaitu orang yang gugur di tangan orang kafir di medan perang), maka tidak dilaksanakan shalat jenazah atasnya, dan tidak pula shalat ghaib, menurut sebagian ulama, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhâri dan yang lainnya bahwasanya Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—memerintahkan agar jenazah para syuhada Perang Uhud dikuburkan dengan darah-darah mereka, tidak dimandikan, dan tidak pula dishalatkan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa boleh menyalatkan orang yang mati syahid, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhâri bahwasanya pada suatu hari Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—keluar, lalu beliau menyalatkan para syuhada Perang Uhud setelah berlalu delapan tahun, seakan beliau menyatakan perpisahan kepada orang-orang yang masih hidup, dan juga orang-orang yang telah meninggal dunia.
Al-Baihaqi juga meriwayatkan secara mursal (riwayat tabi`in dari Rasulullah) bahwasanya Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—menyalatkan para syuhada Perang Uhud sebelum mereka dikuburkan.
Dan barangkali pendapat Ibnu Hazm yang menyatakan bahwa menyalatkan orang yang mati syahid, atau meninggalkannya, kedua-duanya hukumnya boleh, sebagai pengamalan terhadap nash-nash yang berbicara tentang masalah ini, merupakan pendapat yang baik dan pas.
Wallâhu a`lam.