Semakin dekat kaum Muslimin dengan masa memetik buah, mereka akan semakin perlu mengutamakan kemaslahatan Umat di atas kepentingan pribadi mereka. Salah satu pihak yang sedang bertikai harus mengalah untuk memberi jalan kepada pihak lain, seraya mendahulukan ridha Allah serta demi menghasilkan kebaikan yang luas dan mencegah keburukan yang besar.
Mengalah—pada hakikatnya—adalah kesiapan untuk mundur selangkah di hadapan pihak lain ketika terjadi perselisihan dalam suatu urusan. Tujuan mengalah ini bukanlah untuk berpaling dari kebenaran yang sudah jelas dan terang, tetapi ini adalah bentuk kelembutan sikap dalam perselisihan antara pendapat yang baik dengan pendapat yang lebih baik, atau dialog seputar perkara yang masih diperselisihkan, demi menjaga rasa saling mencintai dan memelihara kejernihan hati. Setiap pihak bersedia mengalah kepada saudaranya. Terkadang yang ini mengalah, dan pada kesempatan lain, yang itu mengalah.
Adab Para Shahabat
Adab seperti ini sangat jelas terlihat di kalangan para shahabat Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Terutama ketika belum tampak jelas kebenaran dalam suatu perkara ijtihâdiyyah. Karena kita adalah manusia, kita tidak bisa memastikan bahwa pendapat kitalah yang paling benar dan tepat. Kita harus menghadapkan muka kepada Allah untuk meminta kebenaran langkah dan teguh di atas kebenaran. Di antara doa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—dalam shalat malam beliau adalah: "(Ya Allah), berilah aku petunjuk atas apa yang mereka perselisihkan tentang kebenaran dengan izin-Mu. Sungguh, engkau memberi petunjuk jalan yang lurus kepada siapa saja yang Engkau kehendaki."
Perselisihan paling berbahaya adalah yang terjadi dalam kondisi-kondisi jihad dan dakwah. Imam Al-Bukhâri menuliskan sebuah judul dalam kitab Shahîh-nya: "Bab Perselisihan dan Perbedaan yang Dimakruhkan dalam Peperangan". Beliau berdalil dengan pesan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—kepada Mu`âdz dan Abu Musa sebelum mengutus mereka berkedua ke Yaman, "Ringankanlah dan jangan memberatkan, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari, saling mengalahlah dan jangan saling berselisih!" Sungguh tidak etis ketika dua orang dai yang terhormat saling berselisih dalam suatu masalah Syariat, sementara orang-orang memandang kepada mereka!!
Keberanian Menarik Pendapat yang Memecah
Orang mukmin sangat membutuhkan keberanian untuk menarik pendapat awalnya yang memecah-belah, lalu mengikuti pendapat yang menyatukan. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Ali dan Umar—Semoga Allah meridhai keduanya—pernah memfatwakan tidak dibolehkannya menjual ummul walad (budak wanita yang sudah digauli seperti istri). Kemudian setelah itu, Ali berpendapat dibolehkannya menjual ummul walad, sampai ia berkata, "Pendapatku dan pendapat Umar pernah sepakat bahwa para ummul walad tidak boleh dijual. Namun setelah itu, aku berpendapat bahwa mereka boleh dijual." Lalu Ubaidah berkata kepada Ali—Semoga Allah meridhainya, "Pendapatmu dan pendapat Umar ketika berada dalam kebersamaan lebih aku sukai daripada pendapatmu sendirian di dalam perbedaan." Mendengar itu, Ali pun mencabut fatwanya dan berkata, "Putuskanlah sebagaimana (dahulu) kalian pernah memutuskan, karena aku tidak menyukai perselisihan."
Jadi, membuang perbedaan dan perselisihan lebih diutamakan daripada bersikeras mengukuhkan pendapat atau pandangan yang bersifat ijtihâdiyyah. Adapun terkait kebenaran yang telah pasti, seorang dai yang bijaksana harus memikirkan dengan matang untuk dapat menyampaikannya dengan bijak, jauh dari perselisihan dan pertentangan.
Renungkanlah Keadaan Kaum Mukminin di Surga
Jikalau kita merenungkan keadaan orang-orang beriman di Surga, kita pasti akan berusaha menjadikan perjalanan kita di dunia ini seolah-olah gambaran kehidupan di Surga yang diceritakan oleh Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—dalam sabda beliau, "Tidak ada perselisihan di antara mereka dan tidak ada sikap saling membenci. Hati mereka adalah hati yang satu."
Oleh karena itu, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—selalu mengingatkan agar kita tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang menimbulkan perselisihan, supaya jiwa-jiwa umat ini tidak saling menjauh. Beliau bersabda, "Janganlah kalian bertikai sehingga hati kalian berselisih."
Itulah sebabnya mengapa banyak ulama yang menyimpan fatwa-fatwa mereka dan tidak menyebarkannya di tengah khalayak disebabkan berbedanya fatwa mereka itu dengan pendapat yang masyhur dalam suatu masalah. Mereka melakukan itu demi menjaga agar tidak terjadi perselisihan di tengah-tengah masyarakat atau membingungkan para penuntut ilmu.
Di antara pesan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—ketika meluruskan saf dalam shalat adalah: "Luruskan dan samakan saf, janganlah kalian saling berbeda sehingga hati kalian menjadi berselisih." Bahkan perbedaan dalam saf shalat dapat berpengaruh kepada perselisihan hati. Karena itu, berlemah-lembutlah di depan saudara-saudara kalian, samakanlah saf, dan ikutilah imam kalian, semoga dengan demikian, hati kalian semakin bersatu.
Semakin ikhlas kita berhukum kepada Syariat, akan semakin jauh kita dari jurang perpecahan. Inilah yang selalu diingatkan oleh seorang muslim kepada dirinya sendiri di dalam shalat Tahajudnya: "Ya Allah, hanya kepada-Mu aku berserah diri, hanya kepada-Mu aku beriman, hanya kepada-Mu aku bertawakal, hanya kepada-Mu aku bertobat, hanya dengan-Mu aku memusuhi, dan hanya kepada-Mu aku berhukum."
Setiap cendikiawan Umat ini wajib berkontribusi mencegah terjadinya perselisihan, menghapus segala permusuhan, dan segera mengambil langkah-langkah yang menyatukan barisan Umat. Umar—Semoga Allah meridhainya—telah menceritakan kepada kita perselisihan manusia tentang orang yang akan dibaiat sebagai pemimpin setelah wafatnya Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Di antara perkataannya adalah: "Hingga timbullah kegaduhan dan suara ribut, sampai aku melepaskan diri dari perselisihan itu. Aku berkata, 'Bentangkan tanganmu, wahai Abu Bakar!' Lalu Abu Bakar membentangkan tangannya, dan aku pun membaiatnya. Kemudian ia pun dibaiat oleh orang-orang Muhajirin, dan setelah itu, oleh orang-orang Anshar." Dengan sikap ksatria seperti ini, Umar berhasil memadamkan api perselisihan yang bisa saja memecah-belah barisan kaum muslimin ketika itu.
Yang dapat membantu munculnya keberanian mengalah ini adalah komitmen terhadap batasan-batasan Syariat dan taat kepada pemimpin. Inilah yang diperintahkan oleh Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—ketika bersabda, "Orang-orang yang hidup di antara kalian (pada saat itu) akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian komitmen memegang Sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk, gigitlah ia dengan gigi geraham kalian (pegang teguhlah ia)."
Seringkali perintah pemimpin dalam berbagai perkara bertentangan dengan keinginan kita pribadi. Jika setiap orang hanya mau menuruti keinginan masing-masing, sudah tentu kita akan melihat banyak perbedaan. Tetapi jika setiap orang mematuhi pemimpinnya dan mengalah kepada pendapatnya, maka itulah ajaran Sunnah.
Orang-orang yang ikhlas harus saling menyeru untuk membuang segala potensi fitnah (konflik) ketika munculnya cikal-bakal perbedaan dalam hal apa pun. Inilah yang dilakukan oleh Hudzaifah ketika mengabarkan kepada Utsman tentang perselisihan manusia dalam membaca Al-Quran. Ia berkata, "Selamatkanlah Umat ini sebelum mereka berselisih dalam Kitab Allah seperti perselisihan orang-orang Yahudi dan Nasrani."
Ancaman untuk Permusuhan
Barangkali salah satu hal yang dapat membuat kita rela mengalah dan menjauhi permusuhan adalah dalil-dalil yang mengancam manusia jika bersikap keras kepala, berdebat, dan bertikai. Terdapat banyak hadits yang berbicara tentang sifat-sifat orang munafik, di antaranya: "Apabila ia bersengketa, ia melakukan kecurangan." Dan hadits: "Sesungguhnya laki-laki yang paling dibenci oleh Allah adalah yang gemar berdebat dan bertikai."
Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga pernah menjanjikan sebuah rumah di pelataran Surga bagi orang yang mampu meninggalkan perdebatan meski ia tahu bahwa dirinyalah yang benar. Beliau bersabda, "Aku menjamin sebuah rumah di pelataran Surga, bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia benar." Inilah derajat mengalah yang paling tinggi.
Perpecahan Adalah Azab dan Kehancuran
Kehancuran Umat ini sesungguhnya terjadi lantaran perselisihan yang ada antara mereka, sebagaimana dijelaskan dalam hadits: "Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian berselisih sehingga mereka binasa." Kalaulah sebagian mereka mengalah, niscaya mereka tidak akan berselisih dan tidak pula akan binasa.
Sungguh, generasi pertama Islam adalah gambaran tertinggi tentang sikap mengalah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Utsman—Semoga Allah meridhainya—melakukan shalat empat rakaat di Mina (tidak qashar). Lalu sampailah berita itu kepada Ibnu Mas`ud—Semoga Allah meridhainya, dan itu membuatnya sangat terganggu. Tetapi meski demikian, ia tetap bermakmum di belakang Utsman yang shalat empat rakaat. Ketika ia ditanya tentang hal itu, ia menjawa, "Perselisihan itu adalah keburukan."
Ketika terjadi dialog siapa yang akan dibaiat setelah wafatnya Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, seorang laki-laki dari kaum Anshar berkata, "Dari kami ada yang memimpin dan dari kalian ada yang memimpin pula." Lalu Umar—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Dua pedang dalam satu sarung? Sungguh tidak akan pernah bersatu." Ini adalah salah satu bentuk kafaqihan Umar—Semoga Allah meridhainya.
Sesungguhnya jiwa-jiwa yang agung pasti mampu berinteraksi dengan hati lapang, walau sebesar apa pun perselisihan yang terjadi. Ali—Semoga Allah meridhainya—ketika ditanya tentang orang-orang yang memeranginya pada perang Jamal, apakah mereka itu telah kafir, munafik ataukah apa?, ia menjawab, "Mereka adalah saudara-saudara kita yang keluar memerangi kita." Ia menolak menuduh mereka kafir atau munafik. Karena di antara yang memeranginya pada perang itu adalah Thalhah—Semoga Allah meridhainya. Umar pernah berkata kepada `Imrân putra Thalhah, "Aku sungguh berharap semoga Allah menjadikanku dan ayahmu termasuk orang-orang yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya): 'Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada di dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan (Surga)."
Sudah saatnya kita memiliki akhlak rela mengalah dan menjauh dari perselisihan, agar kita menjadi saudara di dunia dan Akhirat, agar hati kita bersih dari hasutan Syetan, dan agar Umat ini mampu mendirikan negara dan kekuasaannya.