Islam Web

  1. Ramadhan
  2. Artikel

Bagaimana Memuhasabahi Diri?

Bagaimana Memuhasabahi Diri?

Agar kita bisa memiliki sifat-sifat mulia dan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah  maka kita harus selalu melakukan muhasabah diri, supaya ia kembali kepada fitrah penciptaannya. “(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [QS. Ar-Rum: 30]. Supaya jiwa-jiwa ini berdiri melaksanakan hak-hak Tuhannya, menyembah-Nys dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesembahan apapun, dan supaya ia dapat menjaga kebaikan hidupnya di dunia maupun Akhirat.

Saking urgennya muhasabah ini Allah memerintahkannya di dalam Kitab Suci-Nya, Dia berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk Hari Esok (Akhirat); dan bertaqwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan. Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Mereka Itulah orang-orang yang fasik. Tidaklah sama antara penghuni-penghuni Neraka dan penduduk-penduduk Surga; penduduk-penduduk Surga itulah orang-orang yang beruntung.” [QS. Al-Hasyr: 18-20].

Allah juga menjanjikan Surga bagi mereka yang memuhasabahi diri, dalam firman-Nya (yang artinya): “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sungguh Surgalah tempat tinggal(nya).” [QS. An-Nazi`at: 40]. Rasulullah Shallallâhu `alaihi wasallam juga bersabda: “Surga itu dikelilingi oleh hal-hal yang memberatkan.”

Jiwa itu ada tiga macam:

1.    Jiwa yang pertama: Jiwa yang melimpah dengan kebaikan, patuh tunduk kepada Allah dan sadar akan pengawasan-Nya. Ia bagaikan Malaikat, selalu berusaha menutrisi rohaninya, obsesinya hanya Akhirat, seakan-akan ia melihatnya dengan mata kepala, selalu bermuhasabah diri, tak pernah berhenti dan bosan beramal, senantiasa sibuk dengan amal yang meridhakan Tuhannya, banyak berdzikir dan bersyukur kepada-Nya. Jiwa seperti inilah yang rela sepenuh hati Allah sebagai Tuhannya, Muhammad sebagai nabinya dan Islam sebagai agamanya. Jiwa inilah yang telah siap bertemu dengan Allah. Bahkan jika dikatakan kepadanya: Hari Kiamat akan terjadi esok hari, tidak bertambah amalannya lantaran hal itu (karena ia beramal bukan karena Hari Kiamat, tetapi karena Allah). Dialah jiwa yang mencintai pertemuan dengan Allah dan Allah mencintai pertemuan dengan-Nya. Jiwa inilah yang bernama An-Nafs Al-Muthma’innah (jiwa yang tentram). Allah berfirman (yang artinya): “Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam Surga-Ku.” [QS. Al-Fajr: 27-30]. Allah juga berfirman (yang artinya): “Ingatlah, hanya dengan dzikir kepada Allah hati menjadi tenteram.” [QS. Ar-Ra`d: 28]. Diriwayatkan tentang biografi Ibnu `Abbas  may  Allaah  be  pleased  with  them, bahwa ketika orang-orang memakamkan beliau mereka mendengar suara bacaan—(yang tidak diketahui sumbernya)—ayat (yang artinya): Wahai jiwa yang tenang...”

2.    Jiwa yang kedua: Jiwa yang tidak stabil dalam satu kondisi, sering berbolak-balik dan berwarna-warni, kadang ingat (kepada Allah) kadang lalai, kadang patuh kadang tidak patuh, kadang suka kadang tidak suka, kadang senang kadang tidak senang, kadang ridha kadang marah, namun ia selalu mencela dan menyesali dirinya ketika meninggalkan ketaatan atau mengerjakan kemaksiatan. Jiwa ini berada di antara kecendrungan baik dan kecendrungan buruk, antara dorongan akal dan dorongan syahwat. Jiwa ini bernama an-nafs al-lawwamah (jiwa yang selalu menyesali dirinya). Allah juga telah bersumpah dengannya dalam firman-Nya (yang artinya): “Aku bersumpah demi Hari Kiamat. Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” [QS. Al-Qiyamah: 1-2].

3.    Jiwa yang ketiga: Jiwa yang penuh dengan keburukan, patuh dan taat kepada Syetan, selalu bermaksiat kepada Ar-Rahmân, jauh dari ketaqwaan, dekat dari hawa nafsu, cenderung kepada dunia, selalu menuruti tabiatnya yang hina dan menggiring hati kepada kenistaan. Jiwa ini bernama an-nafs al-ammarah bis su (jiwa yang selalu menyuruh berbuat keburukan). Allah berfirman tentang jiwa ini (yang artinya): “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku...” [QS. Yusuf: 53]. Nabi  may  Allaah  exalt  his  mention juga selalu berlindung kepada Allah dari nafsu semacam ini, karena dalam setiap khutbah hajah beliau bersabda: “Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, meminta ampunan-Nya dan memohon perlindungan kepada-Nya dari keburukan diri (jiwa) kita.” Beliau juga berdoa: “Aku memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukan diriku.” 

Muhasabah diri adalah perkara yang dituntut (bagi setiap muslim), karena ia merupakan pelaksanaan terhadap perintah Allah, sebagai penambah pahala, perlombaan dalam kebaikan, pencegah diri dari hawa nafsu dan syahwat, penghalang dari keburukan dan peneladanan terhadap para nabi `Alaihimus salam. Di antara yang diriwatakan dari Shuhuf Nabi Ibrahim ialah: “Empat waktu yang tak layak seorang berakal melalaikannya: waktu dimana ia bermunajat kepada Tuhannya, waktu dimana ia bertafakkur tentang penciptaan langit dan bumi, waktu dimana ia memuhasabahi dirinya dan waktu untuk dirinya dan keluarganya.”

Diriwayatkan bahwa Nabi Dawud `Alaihis salam membagi waktu beliau menjadi empat bagian: waktu untuk menyembah Rabb-nya, waktu untuk memutuskan hukum dan menyelesaikan perkara di antara manusia, waktu untuk berdakwah kepada kebaikan dan waktu untuk makan, minum dan keluarganya. Pemilik pembagian waktu ini juga seorang yang senantiasa berpuasa sehari dan tidak berpuasa sehari, selalu bangun shalat pada sepertiga malam (terakhir) dan tidur setengah malam.

Nabi Sulaiman ` may  Allaah  be  pleased  with  him juga selalu memeriksa kondisi kuda-kudanya dan menyiapkanya untuk berjihad di jalan Allah. Suatu ketika aktivitas itu melalaikan beliau dari mengingat Allah, sehingga beliau menyembelih semua kuda itu dan memotong-motong betisnya lalu membagikan dagingnya kepada kaum fakir miskin untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menghukum dirinya. Maka Allah kemudian mengganti kuda-kuda itu untuk beliau atas muhasabah tersebut dengan pasukan angin yang dapat menempuh jarak yang ditempuh kuda dalam sebulan hanya dalam satu pagi atau sore. Allah berfirman (yang artinya): “Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula)...” [QS. Saba': 12].

Dan di antara makhluk yang paling banyak bermuhasabah terhadap dirinya ialah Rasulullah  may  Allaah  exalt  his  mention. Hati beliau bersih, lisan beliau selalu berdzikir, pandangan beliau terjaga, pendengaran beliau penuh dengan kebaikan, tangan beliau selalu berinfak, kaki beliau selalu melangkah kepada kebaikan, manfaat beliau menyebar ke daratan dan lautan, shalat beliau selalu dalam jama`ah, shalat malam beliau tidak pernah berhenti, bahkan ketika beliau tertidur atau lelah (sehingga tidak shalat malam) beliau mengkadanya di siang hari 12 rakaat. Dalam sehari beliau selalu shalat 40 rakaat: 17 rakaat shalat fardhu, sebelas rakaat shalat malam, 12 rakaat shalat sunnah rawatib.

Muhasabah diri adalah tradisi orang-orang shalih. Lihatlah Abu Bakr  may  Allaah  be  pleased  with  them menarik lidahnya lalu berkata: “Duhai andai saja aku ini hanyalah sebatang pohon yang menaungi.”

Lihatlah `Amr Ibnul `Ash, ia berkata ketika akan wafat: “Sungguh di zaman Jahiliyah aku sangat ingin membunuh Rasulullah, dan kalau itu terjadi niscaya aku akan masuk Neraka. kemudian aku masuk Islam dan membentangkan tangan untuk membaiat beliau sambil meminta syarat (asalkan semua kesalahan diampuni). Lalu beliau bersabda: ‘Sesungguhnya Islam telah menutupi (menghapus) semua kesalahan-kesalahan sebelumnya...’

Lihatlah Hanzhalah Al-Usaidi berkata kepada Abu Bakr: “Aku telah munafik.” Abu Bakr menimpali: “Akupun demikian.” Lalu mereka berdua mengadu kepada Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam...” [Hadits].

Lihatlah Nabi Ibrahim ketika berkata: “Aku membayangkan diriku sedang berada di Surga, makan buah-buahnya, minum dari sungai-sungainya dan memeluk bidadari-bidadarinya. Kemudian aku membayangkan diriku berada di Neraka, memakan buah zaqqumnya, minum dari hamîm dan ghassaq-nya, dan mencoba membuka rantai-rantainya. Lalu aku berkata: Wahai diriku, apa yang engkau inginkan? Ia menjawab: ‘Aku ingin kembali ke dunia untuk beramal shalih. Lalu aku berkata padanya: ‘Engkau sekarang masih berada di dunia, maka beramal shalihlah.’”

Hendaklah setiap muslim mengetahui bahwa muhasabah diri itu ada dua macam:

- Muhasabah sebelum beramal: Yaitu seorang hamba memperhatikan suatu amalan, apakah ia mampu melakukannya lalu mengamalkannya, seperti puasa dan qiyamullail, ataukah tidak mampu melakukannya sehingga tidak mengamalkannya? Dan merenungkan juga apakah mengerjakan suatu amalan akan mendatangkan kebaikan di dunia dan Akhirat atau malah mendatangkan keburukan? Kemudian melihat juga apakah amalan tersebut hendak dilakukan karena Allah ataukah karena manusia; jika karena Allah maka ia melaksanakannya dan jika untuk selain-Nya maka ia tinggalkan.  

- Muhasabah sesudah beramal. Muhasabah kedua ini ada tiga macam:

Pertama: Muhasabah diri atas kelalaiannya dalam melaksanakan ketaatan-ketaatan, seperti tidak ikhlas beramal, menyalahi Sunnah, meninggalkan seluruh atau sebagian dzikir harian atau bacaan Al-Quran, meninggalkan dakwah, meninggalkan shalat jama`ah, tidak menunaikan shalat sebagaimana dituntut, meninggalkan shalat sunnat rawatib, dll. Muhasabah diri dalam hal ini adalah dengan menyempurnakan kekurangan, memperbaiki kesalahan, bersegera melakukan kebaikan dan meninggalkan larangan, bertaubat dan beristighfar kepada Allah, istiqamah berdzikir, menyadari pengawasan Allah, memperhitungkan segala yang disembunyikan oleh hati dan berusaha membersihkannya, memperhitungkan lisan atas segala yang diucapnya lalu menyibukkannya dengan kebaikan atau diam, serta mengingat bahwa generasi Salaf bahkan menghitung perkataan mereka setiap minggunya. Kemudian memperhitungkan mata atas segala yang dipandangnya lalu menggunakannya memandang yang halal dan menahannya dari memandang yang haram, memperhitungkan telinga atas segala yang didengarnya lalu menggunakannya untuk banyak mendengar kebaikan dan mencegahnya mendengar keburukan, demikian seterusnya ia memperhitungkan seluruh anggota badannya. Sebab segala tindakannya tak terlepas dari dua hal: ia berusaha menjaga modal pokoknya yang itu menjaga ibadah-ibadah wajib dan menambah keuntungan dengan mengerjakan ibadah-ibadah sunnah, ataupun ia bekerja untuk merugikan keuntungannya bahkan modal pokoknya.

Kedua: Muhasabah diri atas setiap amalan yang meninggalkannya lebih baik daripada mengerjakannya; ia melakukannya lantaran menaati hawa nafsu. Amalan semacam ini merupakan pintu maksiat dan tergolong perkara syubhat. Nabi  may  Allaah  exalt  his  mention bersabda: "Yang halal itu telah jelas dan yang haram itu telah jelas, dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat (tidak jelas halal-haramnya) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa menjauhi perkara-perkara syubhat itu maka ia telah menjaga kesucian beragama dan kehormatannya. Dan barang siapa terjerumus ke dalam syubhat maka ia telah terjerumus ke dalam keharaman...” Beliau juga bersabda: “Tinggalkan hal-hal yang meragukanmu kepada hal-hal yang tidak meragukanmu.”

Ketiga: Muhasabah diri karena melakukan perkara mubah atau meninggalkan kebiasaan, apakah hal itu karena menginginkan ridha Allah dan kebaikan Negeri Akhirat atau tidak. Umar Ibnul Khaththab  may  Allaah  be  pleased  with  them berkata: “Muhasabahilah diri kalian sebelum (amal) kalian diperhitungkan, timbanglah amal-amal kalian sebelum nanti ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk menghadapi Hari ditampilkannya amal perbuatan, saat itu kalian akan ditampilkan dan tak yang tersembunyi sedikitpun dari kalian.”

Ketahuilah bahwa muhasabah memiliki tiga rukun:

Rukun pertama: Menimbang antara nikmat Allah yang Dia anugrahkan padamu dan keburukan yang engkau lakukan. Nikmat Allah tiada terhitung banyaknya, Dia menciptakanmu, membaguskan dan menyeimbangkan penciptaanmu, memberimu rezeki sejak dari perut ibumu dan setelah kelahiranmu. Dia melimpahkan nikmat kepadamu, memberimu kesehatan dan keselamatan, menundukkan apa-apa yang ada di langit dan di bumi untuk kepentinganmu, mencukupkan dirimu dari selain-Nya, maka akuilah nikmat-nikmat-Nya itu dan akuilah dosa-dosamu. Oleh karna itu Sayyidul Istighfâr (penghulu istighfar) adalah ungkapan istighfar yang paling agung, karena mengandung keduanya (pengakuan atas nikmat Allah dan pengakuan akan dosa-dosa diri), yaitu dalam ucapan: “Aku akui wahai Tuhanku segala nikmat-Mu terhadapku, dan akupun mengakui segala dosaku, maka ampunilah aku, karena tiada yang bisa mengampuni dosa-dosa selain Engkau.”  

Rukun muhasabah ini tidak dimiliki kecuali oleh orang yang dianugerahi cahaya oleh Allah di dalam hatinya sehingga ia bisa mengetahui dan mengikuti kebenaran, serta mengetahui dan meninggalkan kebathilan. Ia tidak dimiliki kecuali oleh orang yang selalu berburuk sangka pada dirinya sehingga ia selamat dari merasa suci, ujub dan sombong. Ia tidak dimiliki kecuali oleh orang yang dapat membedakan antara ni`mah (anugrah Allah) dan niqmah (murka-Nya). Barang siapa menyembah Allah dengan anugrah-Nya maka anugrah itu benar-benar merupakan nikmat Allah, dan barang siapa bermaksiat kepada Allah dengan anugrah-Nya maka anugrah itu sejatinya ialah istidrâj (umpan menuju keburukan).

Rukun kedua: Membedakan antara hak Allah atas dirimu (kewajibanmu kepada-Nya) dan hal-hal yang boleh bagimu. Hak Allah atasmu ialah komitmen terhadap ubudiyyah (menyembah Allah) dan meninggalkan maksiat, dan hakmu ialah memanfaatkan apa-apa yang dibolehkan oleh Syariat. Di dalam sebuah hadits Nabi  may  Allaah  exalt  his  mention bertanya kepada Mu`adz: “Tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya: menyembah Dia semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun (dalam penyembahan).”

Rukun ketiga: Sangat berharap amal ibadahnya diterima sehingga ia memperbanyak doa, istighfar dan taubat. Hatinya selalu bergetar dan takut sampai ia mengetahui (kelak) apakah amalnya diterima atau tidak. Allah berfirman (yang artinya): “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut (amalan mereka tidak di terima, karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” [QS. Al-Mu'minun: 60]. Allah telah mensyariatkan bagi ahli muhasabah untuk selalu beristighfar setelah melaksanakan amal-amal shalih mereka, beristighfar setelah shalat fardhu, setelah shalat malam, setelah wuquf di Arafah, setelah wudhu, setelah melakukan tugas dan sebagainya.

Ketahuilah bahwa di antara manfaat muhasabah seorang hamba akan mengetahui aib dirinya. Seorang laki-laki bertanya kepada `Aisyah  may  Allaah  be  pleased  with  them tentang firman Allah yang artinya): “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang “zhalim linafsih” (menganiaya diri mereka sendiri) dan di antara mereka ada yang “muqtashid” (pertengahan) dan di antara mereka ada (pula) yang “as-sabiq” (terdepat dalam berbuat kebaikan) dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” [QS. Fathir: 32]. Beliau menajawab: “As-Sabiq itu adalah orang-orang yang telah berlalu di zaman Rasulullah  may  Allaah  exalt  his  mention dan beliau mempersaksiakan mereka sebagai penduduk Surga, sementara muqtashid adalah shahabat-shahabat beliau yang mengikuti sunnah beliau setelah beliau. Adapun zhalim adalah seperti diriku dan dirimu.”

Muhammad Ibn Wasi`  may  Allaah  be  pleased  with  them berkata: “Kalaulah dosa-dosa itu memiliki bau niscaya tak ada seorangpun yang bisa duduk di dekat orang lain.”

Dikisahkan bahwa seorang lelaki dari Bani Israil telah menyembah Allah selama 60 tahun. Ia pernah berdoa tetapi belum dikabulkan. Lalu ia berkata memuhasabhi dirinya: “Kalaulah ada kebaikan pada dirimu niscaya doamu akan dikabulkan, tidaklah doamu ditolak melainkan karena dirimu sendiri.” Kemudian seseorang datang dalam mimpinya dan berkata padanya: “Celaanmu terhadap dirimu itu jauh lebih baik daripada ibadahmu selama 60 tahun.”

Manfaat lainnya ialah keshalihan hati dan anggota badan, jauh dari tipuan Syetan. Muhasabah adalah bukti seseorang takut kepada Allah. Barang siapa takut (kepada Allah) maka ia akan selamat, karena Allah tidak akan mengumpulkan dua rasa takut dan dua rasa aman pada diri seorang hamba. Barang siapa takut pada-Nya di dunia maka Allah akan memberinya rasa aman pada Hari Kiamat dan barang siapa merasa aman di dunia (tidak takut pada Allah) maka Allah akan membuatnya ketakutan pada Hari Kiamat.

Maka muhasabahilah diri kalian supaya perhitungan amal kelak di Akhirat menjadi ringan, supaya menjadi terang bagi kalian jalan yang lurus, supaya kalian meraih ridha Allah serta berbahagia di dunia dan Akhirat. Semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad bin Abdullah, dan juga kepada keluarga dan para shahabat beliau serta orang-orang yang mengikuti beliau.  

Artikel Terkait