Apakah seorang perempuan yang meninggalkan puasa Ramadhân karena halangan syar`i wajib meng-qadhâ' puasa itu secara berturut-turut, ataukah boleh berselang-selang sesuai kesanggupannya?
Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Para ulama dalam masalah ini memiliki dua pendapat:
Pertama: Qadhâ' harus dilakukan secara berturut-turut jika seseorang membatalkan puasanya secara berturut-turut. Seperti seorang perempuan yang tidak berpuasa karena haid.
Kedua: Qadhâ' tidak wajib berturut-turut, berdasarkan firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Maka barang siapa di antara kalian menderita sakit atau sedang berada dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah ia berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain." [QS. Al-Baqarah: 184]. Tetapi tetap dianjurkan untuk dilakukan secara berturut-turut, karena ajal manusia bisa saja datang, sementara ia masih memiliki tanggungan qadhâ' puasa yang belum ia tunaikan.
Pendapat yang kedua ini kita pandang lebih râjîh (kuat), karena ayat di atas tidak mensyaratkan puasa tersebut harus dikerjakan secara berturut-turut. Pendapat ini juga yang diambil oleh sekelompok shahabat, seperti Abu `Ubaidah `Âmir ibnul Jarrâh, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Mu`âdz ibnu Jabal, dan `Amr ibnul `Âsh. Sebagaimana ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama.