Betapa indahnya seorang manusia yang hidup di tengah-tengah manusia yang ia cintai dan mencintainya, saling berkaitan hati dengan mereka. Ketika seseorang merasa kehilangan cinta ini di tengah lingkungan dan masyarakatnya, ia akan hidup dalam kesengsaraan dan kemalangan walaupun ia memiliki dunia dengan seisinya. Oleh karena itu, tidak aneh jika seorang shahabat pernah datang kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, lalu bertanya, "Tunjukkanlah kepadaku sebuah amalan yang apabila aku melakukannya Allah akan mencintaiku dan manusia juga mencintaiku."
Benar, bahwa ridha Allah adalah tujuan dan cita-cita setiap muslim. Akan tetapi, apakah ada kontradiksi antara usaha untuk mencapai ridha Allah dengan menggapai cinta manusia? Justru kita sangat meyakini bahwa kita tidak akan meraih cinta manusia yang sejati kecuali jika Allah—Subhânahu wata`âlâ—mencintai kita. Karena Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—mengabarkan bahwa apabila Allah—Subhânahu wata`âlâ—mencintai seorang hamba, Dia akan menjadikan si hamba diterima di hati manusia. Dan jika Allah membenci seorang hamba, hati manusia juga akan lari darinya.
Jadi, tidak ada kontradiksi sama sekali antara mencari ridha Allah dengan melakukan upaya-upaya yang menyebabkan kita dicintai oleh manusia. Mari merenungkan sebuah peristiwa sangat unik yang dilakoni oleh Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, ketika ia mendatangi Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—dan bertanya kepada beliau tentang sebuah doa. Doa tentang apa? Apakah doa mendapatkan harta dan keluarga? Atau kedudukan dan wibawa? Tidak, demi Allah. Ia hanya meminta: "Doakanlah kepada Allah supaya menjadikan aku dan ibuku dicintai oleh hamba-hamba-Nya yang beriman, serta menjadikan kami mencintai mereka!" Lalu Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—berdoa: "Ya Allah, jadikanlah hamba-Mu ini dan ibunya dicintai oleh hamba-hamba-Mu yang beriman dan jadikanlah keduanya mencintai orang-orang yang beriman."
Keinginan seorang muslim untuk mencintai manusia tidak diperbolehkan untuk tujuan duniawi, tetapi demi tujuan menjalankan Syariat Allah yang telah memerintahkan kita untuk saling bersaudara dan saling mencintai sesama kaum muslimin. Selain itu, juga untuk tujuan membuka hati manusia supaya mau menerima dakwah kebenaran. Barangkali makna agung inilah yang tersirat pada hadits Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—yang menyatakan: "Tiga hal yang apabila ada pada diri seseorang maka ia telah menemukan kelezatan iman. (Di antaranya): mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lain, mencintai seseorang hanya karena Allah."
Bahkan seseorang tidak akan sempurna keimanannya kecuali jika cinta dan bencinya adalah karena Allah, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits: "Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah, berarti ia telah menyempurnakan keimanannya."
Wajah Manis dan Akhlak Mulia
Tidak ragu lagi bahwa akhlak mulia dan tabiat lembut termasuk salah satu faktor paling besar untuk menggapai cinta manusia, sebagaimana wajah manis dan senyuman saat berjumpa akan menanamkan di dalam hati rasa cinta yang hanya diketahui kadarnya oleh Allah—Subhânahu wata`âlâ. Di antara ungkapan para shahabat yang menggambarkan pribadi Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—adalah: "Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih banyak senyumannya daripada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam."
Tawaduk (Rendah Hati) dan Lemah-lembut
Salah satu faktor paling utama untuk meraih cinta manusia ketika berinteraksi dengan mereka adalah sifat tawaduk dan cair bersama mereka. Orang yang mempelajari sirah Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—akan menemukan bahwa beliau adalah teladan paling ideal dalam hal mencintai manusia, melalui sikap rendah hati dan kelemah-lembutan beliau terhadap para shahabat. Maha benar Allah—Subhânahu wata`âlâ—yang berfirman kepada Nabi-Nya—Shallallâhu `alaihi wasallam—(yang artinya): "Maka disebabkan rahmat dari Allahlah, engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekelilingmu." [QS. Âli `Imrân: 159]
Bila seorang shahabat bertemu dengan beliau, beliau akan terus menemaninya dan tidak akan beranjak sampai ia sendiri yang hendak pergi meninggalkan beliau. Jika seseorang menemui dan meraih tangan beliau untuk disalami, beliau menyalaminya dan tidak akan melepaskan tangannya sampai orang itu sendiri yang melepaskan tangannya. Jika seseorang datang kepada beliau dan membisikkan sesuatu, beliau memberikan telinga beliau dan tidak akan menariknya sampai orang itu selesai membisiki beliau.
Seorang anak perempuan pernah menghentikan beliau dan berbicara kepada beliau di jalanan. Beliau pun tidak berpaling hingga anak itu selesai berbicara dan berbalik sendiri. Beliau juga selalu melayani kebutuhan beliau sendiri, tidak pernah memukul budak, baik laki-laki maupun perempuan. Beliau juga tidak mengizinkan orang lain dihalangi untuk menghadap beliau, bahkan siapa saja yang ingin bertemu beliau niscaya dapat menemui beliau. Mari membayangkan bagaimana kira-kira cinta manusia kepada seseorang yang memiliki semua sifat-sifat mulia ini.
Memberi Hadiah Akan Melahirkan Cinta
Demikan juga, salah satu faktor yang dapat mendatangkan cinta adalah memberi hadiah kepada orang lain. Karena sudah menjadi fitrah manusia mencintai orang yang memberi mereka. Oleh karena itu, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Saling memberi hadiahlah kalian supaya kalian saling mencintai."
Menebarkan Salam
Menebar salam di tengah masyarakat adalah salah satu penyebab berseminya rasa cinta antar sesama. Dalam usaha meraih cinta manusia, kita membutuhkan—setelah taufik dari Allah—pemahaman terhadap bagaimana berinteraksi dengan mereka. Kalaulah kita melaksanakan hadits Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam: "Sesungguhnya kalian tidak akan dapat memuaskan manusia dengan harta kalian, akan tetapi yang akan memuaskan hati mereka adalah muka yang manis dan akhlak yang mulia", niscaya hal itu sudah cukup.