Oleh: Yâsir Burhâmi
Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam.
Allah—Subhânahu wata`âlâ—meciptakan makhluk-Nya dalam keadaan miskin dan membutuhkan. Allah menjadikan kebutuhan mereka terhadap hal-hal yang menjadi sumber kehidupan mereka sebagai perkara yang mustahil diperdebatkan, seperti makan, minum, syahwat, saling pengertian dengan sesama, meraih manfaat dengan harta, dan sebagainya. Allah—Subhânahu wata`âlâ—menciptakan pada diri manusia keinginan dan kecenderungan untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan itu, karena manusia tidak akan bisa hidup tanpanya. Akan tetapi semua itu bukanlah tujuan dari keberadaan manusia di dunia ini. Semua hanyalah pelayan yang ditundukkan untuk mereka. Namun syahwat dan keinginan ini sering menjadi penyebab kehancuran kebanyakan manusia, ketika mereka yang justru menjadi pelayan bagi semua keinginan itu. Kebanyakan mereka hanya hidup untuk makan, minum, berkembang biak, dan mengumpulkan harta. Oleh karena itulah hati menjadi merana dan nafsu merajalela.
Orang yang memiliki orientasi Akhirat mengetahui bahwa semua hal ini hanyalah sarana yang akan menyampaikannya kepada tujuan, sehingga ia tidak akan mengambil lebih dari kebutuhannya di dunia ini. Ia juga tidak membutuhkan fasilitas berlebihan yang sejatinya akan menyibukkannya dari mencapai tujuan yang ingin ia gapai. Akan tetapi, kebanyakan manusia hidup di dunia ini tanpa berpikir: Mengapa kita diciptakan? Kemana kita akan pergi? Apa tujuan keberadaan kita? Apa yang diinginkan oleh Tuhan dari kita?
Mereka tidak berpikir tentang semua itu. Mereka hanya mendapatkan diri mereka lapar, lalu berkata, "Kami harus makan." Ketika mendapatkan diri mereka tertarik kepada perempuan, mereka berkata, "Kami akan saling berhubungan, baik itu dengan menikah maupun zina." Ketika mereka mendapatkan diri mereka ingin harta, mereka berkata, "Kami akan mengambilnya, baik itu dengan cara yang halal maupun haram." Ketika itulah hawa nafsu merajalela dan hati manusia menjadi rusak. Manusia hidup hanya untuk kepentingan syahwat, sehingga mereka pun pada hakikatnya senantiasa merana dan sengsara.
Allah—Subhânahu wata`âlâ, Tuhan yang maha penyayang telah mengajarkan kepada manusia Syariat paling sempurna untuk mendidik jiwa dan memperbaiki hati mereka, sekaligus mengingatkan kepada mereka hakikat semua keinginan di atas; bahwa semuanya dijadikan hanya untuk membantu mereka agar sampai ke tujuan sejati. Allah—Subhânahu wata`âlâ—mengajarkan kepada mereka untuk meninggalkan sikap berlebihan dalam semua keinginan tersebut, supaya mereka tidak disibukkan oleh hal-hal yang tidak mereka perlukan dan tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.
Kalau seandainya manusia mau mengambil sikap seperti ini niscaya mereka tidak akan sengsara dalam kehidupan dunia, tidak akan berlomba-lomba mendapatkannya, dan tidak akan dipusingkan dengan usaha menumpuk-numpuk kekayaan. Akankah orang kaya yang mengumpulkan bermilyar-milyar uang itu makan lebih dari kapasitas perutnya? Kalau ia melakukan itu niscaya ia akan mati kekenyangan. Demikian pula dalam hal pakaian, harta benda, dan seluruh syahwat duniawi.
Oleh karena itu, kami menegaskan bahwa sesungguhnya Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah mengajarkan kepada kita sebuah Syariat paling sempurna yang dapat membuat kita mampu mengontrol dan mengarahkan syahwat-syahwat kita, bukan malah dikontrol olehnya.
Bulan Ramadhan adalah waktu berkumpulnya segala macam amal kebaikan untuk mendidik jiwa, dan yang paling pokok dalam hal ini adalah puasa. Para ulama telah menyebutkan beberapa langkah dalam mendidik dan membersihkan jiwa, yaitu: manusia harus membebaskan diri dari syahwat makan dan minum secara berlebihan, syahwat berbicara secara berlebihan, syahwat bergaul secara berlebihan, syahwat mengejar harta secara berlebihan, syahwat biologis secara berlebihan, dan syahwat tidur secara berlebihan. Enam perkara ini, jika manusia disibukkan olehnya, berarti mereka telah menyia-nyiakan umur mereka untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
Dalam bulan Ramadhan, Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah memerintahkan kepada kita untuk mengontrol semua syahwat di atas. Anda tidak akan makan ketika lapar, karena Anda memiliki waktu khusus untuk mencegah nafsu dari makanan, membersihkan dan mengontrolnya, sehingga menjadi taat dan patuh terhadap perintah Allah—Subhânahu wata`âlâ. Oleh karena itu, secara umum, ketika berpuasa, seorang muslim pada bulan Ramadhan lebih mudah melaksanakan ibadah dan ketaatan yang tidak mampu ia lakukan pada bulan-bulan lain. Allah memudahkan baginya menahan pandangan, menutup telinga, dan menjaga lidah. Allah memudahkan baginya mendirikan shalat malam, sebagaimana juga memudahkan baginya berpuasa. Sungguh sangat menakjubkan. Karena nafsu selalu ingin mendapatkan keinginannya, sementara orang yang berakal ingin mengendalikan dan menguasai nafsunya.
Manusia di hadapan nafsu memiliki beberapa tingkatan. Kondisi hati manusia menghadapi nafsu yang selalu menyuruh berbuat keburukan juga beragam.
Ada sebagian manusia yang hatinya mampu menguasai nafsunya sehingga dialah yang mengontrol dan mengendalikan nafsunya. Setelah cukup lama ia mengekang dan mengontrol nafsunya, ia mampu menghilangkan segala potensi bahaya yang ada pada nafsunya. Sehingga mengekangnya menjadi ajang untuk memperbaikinya, dan mencegah keinginan-keinginannya menjadi sarana pembersihannya. Dengan demikian, nafsunya pun laksana menjadi mentri yang jujur bagi si raja.
Kondisi seperti ini haruslah dimulai dengan pengekangan nafsu, karena tidak mungkin nafsu manusia sejak awal mau patuh, tunduk, serta mencintai ketaatan dan membenci kemaksiatan. Permulaan nafsu adalah selalu menyuruh untuk berbuat keburukan, malas menjalankan ketaatan, cenderung untuk berbuat maksiat dan memuaskan syahwat. Maka hati yang mampu menguasai nafsu itu, setelah menempuh perjalanan beberapa masa, mampu mengajarkan dan mendidik nafsunya sehingga dipenuhi keimanan, sebagai hasil dari usahanya memaksa diri mendirikan shalat malam, berpuasa siang hari, dan berinfak.
Setelah ia mendidik nafsunya sedemikian rupa, ia pun merasakan betapa nafsunyalah yang kemudian maju di barisan terdepan menuju amalan-amalan shalih. Ya, nafsunya berubah menjadi mentri yang jujur dan pembantu setia bagi hatinya. Ketika ia dihampiri bisikan-bisikan yang menyuruh berbuat keburukan, dengan berkata, "Lihatlah gambar-gambar yang haram ini!" atau, "Dengarkanlah musik-musik ini!", ia menjawab, "Aku berlindung kepada Allah". Nafsu yang bersih ini pun merasa tenteram mengingat Allah. Hal yang paling menyenangkan baginya adalah kerinduan kepada Allah, serta beribadah dan mendekatkan diri kepada-Nya, sebagaimana Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—pernah berdoa kepada Allah, "Dan aku memohon kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu, tanpa ada bahaya yang membahayakan atau bencana yang menyesatkan."
Ada juga sebagian manusia yang selalu berada dalam kondisi peperangan dan pertarungan dengan nafsunya. Hatinya yang merupakan wadah ilmu dan iman kadangkala menang dan berkuasa, namun terkadang juga dikalahkan oleh nafsunya. Terkadang ia melakukan ketaatan dan terkadang melakukan maksiat. Dirinya dan nafsunya selalu berada dalam pertarungan, sesekali meraih kemenangan dan sesekali menderita kekalahan.
Ada juga sebagian manusia yang selalu dikalahkan oleh hawa nafsunya. Hati telah dikalahkan, dibelenggu, dan dijebloskan ke dalam penjara, sehingga hanya biasa bersedih atas apa yang ia lihat dan ketahui. Tidak mampu memberi perintah kepada kerajaan diri. Hati yang merupakan wadah ilmu dan iman telah menjadi tahanan di dalam penjara. Oleh karena itu, ada pepatah yang mengatakan: "Tahanan sejati adalah orang yang ditahan oleh hawa nafsunya, dan hatinya dipenjara dari Allah."
Apabila dunia telah menguasai hati, iman pun terpenjara. Sehingga iman hanya menjadi sesuatu yang ada di dalam hati, namun tidak bisa keluar, tidak mampu menguasai anggota badan. Ia mengetahui bahwa perbuatan ini diharamkan, dan ia berusaha mencegah anggota badan melakukannya, namun anggota badan tidak menaatinya. Maka nafsu yang selalu menyuruh berbuat keburukan pun menjadi raja yang berkuasa memerintah, melarang, serta mengendalikan kerajaan diri, dan anggota badan pun menaati segala titahnya. Hamba yang seperti ini melihat dan mengetahui nafsunya. Ia juga tahu dirinya telah melakukan kemungkaran dan maksiat. Namun ia lemah, karena telah kecanduan maksiat. Dialah orang yang apabila Anda katakan kepadanya, "Takutlah kepada Allah", ia akan menjawab, "Aku tidak mampu meninggalkan maksiat ini." Ya, nafsunya selalu menang atas dirinya.
Kemudian dengan lamanya hati dipenjara, kondisinya pun berubah dari yang semula berusaha melawan dan mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, dari yang semula menolak untuk kalah walau ia terpenjara, menjadi mengira bahwa kebaikan itu adalah kemungkaran dan kemungkaran adalah kebaikan. Hatinya telah terbalik dan menjadi seperti sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—saat menggambarkan hati orang munafik, "(Hatinya) hitam kelabu, seperti wadah terbalik, tidak mengetahui kebaikan dan tidak mengingkari kemungkaran, selain apa yang diminumkan oleh hawa nafsunya." [HR. Muslim]
Ia tidak lagi dapat melihat kebenaran sebagai kebenaran dan tidak juga melihat kebatilan sebagai kebatilan. Keadaan telah berbalik, ia melihat bahwa segala yang diperintahkan oleh hawa nafsunya itulah kebenaran. Inilah bahaya yang hakiki, karena yang terjadi bukanlah hati melihat kebenaran sebagai kebenaran tapi tidak mampu menyuarakannya. Kalau ini yang terjadi masih ada kemungkinan suatu saat semangatnya bangkit untuk menyuarakan kebenaran itu. Namun yang terjadi adalah bahwa hati melihat kebenaran sebagai kebatilan, hati melihat bahwa bepegang teguh kepada Agama sebagai kemungkaran, membaca Al-Quran dan buku-buku ilmu Agama sebagai bahaya. Bila sudah seperti ini, apakah yang akan ia lakukan? Inilah kesesatan yang nyata, inilah yang disebut dengan zindik.
Sungguh, hati seperti ini telah terbalik, sehingga melihat kebenaran sebagai kebatilan dan kebatilan sebagai kebenaran. Ia melihat pornografi dan hubungan lawan jenis di luar nikah sebagai hak kebebasan, melihat bahwa berhukum kepada selain hukum Allah sebagai demokrasi, melihat bahwa loyalitas terhadap orang-orang kafir adalah kemaslahatan dan manfaat, melihat bahwa kehinaan dan kelemahan di hadapan musuh-musuh Allah merupakan upaya mewujudkan kemaslahatan. Sebab terbaliknya hati ini adalah karena ia telah kalah sebelumnya dalam pertempuran melawan hawa nafsu.
Maka puasa adalah kesempatan besar yang disyariatkan oleh Allah pada bulan Ramadhan agar kita dapat mengendalikan nafsu kita. Jika setiap kita bertanya kepada diri kita: Di manakah posisi saya di antara tingkatan-tingkatan manusia ini? Apakah saya tergolong orang yang dikendalikan oleh nafsu? Apakah saya merasakan nikmatnya beribadah? Ataukah saya masih berjuang memaksa nafsu untuk beribadah? Ataukah saya termasuk orang yang shalat malam sehari, setelah itu tidak shalat sepuluh hari, berpuasa sehari, berikutnya tidak berpuasa sebulan? Demikian seterusnya hingga nafsu selalu berkuasa atas diri saya, dan saya tidak pernah menginfakkan apa pun untuk meraih ridha Allah, tidak pernah mau melalahkan badan untuk beramal karena Allah, untuk belajar dan mengajar, untuk berdakwah dan beribadah kepada Allah? Dengan pertanyaan-pertanyaan di atas, setiap kita akan tahu di tingkat mana posisi kita. Dan siapakah yang menang dalam pertarungan di dalam diri kita?
Anda akan menghadapi kesempatan besar untuk dapat mengalahkan nafsu dan mengendalikannya dalam semua syahwat dunia. Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah mensyariatkan kepada kita ibadah puasa yang merupakan sarana pendidikan nafsu yang paling efektif. Dalam puasa, Anda mencegah diri dari makan, minum, dan syahwat biologis sejak fajar terbit hingga matahari tenggelam. Allah hanya menghalalkan semua itu antara waktu Magrib sampai terbitnya fajar shâdiq (waktu Subuh).
Inilah ajaran moderat yang tidak dimiliki oleh para rahib yang hidup di atas bid`ah kerahiban, sebagaimana difirmankan oleh Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan kerahiban [tidak menikah dan mengurung diri dalam biara] mereka ada-adakan, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya." [QS. Al-Hadîd: 27]
Mereka mengharamkan atas diri mereka apa yang dihalalkan oleh Allah. Oleh karena itu, Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian haramkan hal-hal yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian, dan janganlah kalian melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." [QS. Al-Mâ'idah: 87]
Di antara mereka ada yang mengharamkan untuk dirinya makan daging, menikahi wanita, tidur di malam hari, atau tidur di atas kasur. Sikap seperti ini pernah ada pada sebagian orang yang berlebihan dalam ibadah, di awal-awal Islam, atau kaum Sufi awal. Mereka kehilangan prinsip moderat. Oleh karena itu, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—melarang puasa Wishâl (menyambung puasa hari ini dan esok). Ketika mereka bertanya kepada beliau, "Anda sendiri melakukan puasa Wishâl, (wahai Rasulullah)?" Beliau menjawab, "Aku tidak seperti kalian. Sesungguhnya Tuhanku memberi aku makan dan minum." [HR. Al-Bukhâri]
Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa larangan puasa Wishâl bisa berarti larangan haram atau larangan makruh. Dan pendapat yang benar adalah yang pertama (haram). Wishâl berarti tidak makan dan minum dua hari berturut-turut. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—telah melarang ini. Beliau bersabda, "Siapapun dari kalian yang ingin wishâl, maka lakukanlah hanya sampai waktu sahur." [HR. Al-Bukhâri]. Beliau hanya mengizinkan wishâl sampai waktu sahur; setiap hari hanya makan satu kali, yaitu ketika sahur.
Sebenarnya yang dituntut dari kita adalah mengambil sikap pertengahan (moderat). Adapun jika seseorang makan setiap kali merasa lapar dan minum setiap kali merasa haus, tanpa mampu mengendalikan nafsunya sepanjang tahun, maka hal ini adalah hal yang tercela, dan tidak diragukan lagi bahwa ia akan dikalahkan oleh nafsunya.
Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah mensyariatkan kepada kita qiyâmullail (shalat malam) untuk meninggalkan aktivitas tidur berlebihan. Bukanlah termasuk kebiasaan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—menghidupkan malam sepenuhya (untuk beribadah) tanpa tidur barang beberapa waktu, kecuali pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Bangun malam yang diajarkan oleh Rasulullah ini adalah bangun malam paling moderat yang bisa dilakukan oleh manusia, bukan juga tidur sepenuh malam sehingga merusak pikiran dan perasaan. Oleh karena itu, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Akan tetapi aku berpuasa dan terkadang tidak berpuasa, aku shalat (malam) dan juga tidur malam, dan aku menikahi perempuan. Barang siapa yang tidak menyukai sunnahku berarti ia bukanlah dari golonganku." [HR. Al-Bukhâri]
Allah tidak melarang jimak (hubungan badan suami istri) secara keseluruhan, hanya memberikan batasan waktu tertentu, sehingga membuat manusia mampu mengontrol syahwatnya itu. Allah lalu mewajibkan kaffârah (tebusan dosa) yang berat bagi orang yang menyetubuhi istrinya secara sengaja di siang hari Ramadhan. Yaitu dengan memerdekakan budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin. Tujuan dari tekanan seperti ini adalah supaya manusia dapat mengontrol dan mengendalikan nafsunya.
Allah—Subhânahu wata`âlâ—juga mensyariatkan kepada kita untuk meninggalkan perkataan berlebihan yang tidak ada manfaatnya. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Apabila salah seorang dari kalian berpuasa pada suatu hari, maka janganlah ia berkata-kata kotor dan bersuara keras. Jika ada orang yang mencela atau menyerangnya hendaklah ia berkata: 'Aku sedang berpuasa." [HR. Al-Bukhâri]
Allah juga mensyariatkan kepada kita untuk lebih menjaga diri dari ghibah (gunjing), adu domba, dan menipu. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang belum meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak membutuhkan (puasanya) meninggalkan makan dan minumnya." [HR. Al-Bukhâri]
Oleh karena itu, melakukan dosa besar di siang hari bulan Ramadhan akan menghilangkan pahala puasa Ramadhan dan membuat puasa tidak diterima. Karena puasa sejatinya disyariatkan untuk mewujudkan ketakwaan, sebagaimana firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): ".agar kalian bertakwa." [QS. Al-Baqarah: 185]
Jika seseorang melakukan dosa besar pada saat ia berpuasa, itu menunjukkan bahwa puasanya tidak memenuhi syarat puasa yang disyariatkan. Oleh karena itu, puasanya menjadi tidak berpahala dan tidak diterima. Allah—Subhânahu wata`âlâ—juga tidak butuh kepada perjuangannya meninggalkan makan dan minumnya itu.
Oleh karena itu, kami menegaskan bahwa orang yang meninggalkan shalat misalnya, atau perempuan yang keluar dengan ber-tabarruj (menampakkan auratnya) pada siang Ramadhan, atau orang yang mencaci dan memaki, sebenarnya telah membatalkan puasanya dengan hatinya, walaupun tidak membatalkannya dengan mulut dan perutnya. Ia tidak mendapatkan pahala, dan puasanya tidak diterima, walaupun kewajiban berpuasanya telah dipenuhi. Ia memang tidak diperintahkan untuk mengulangi puasanya, tapi ia tidak mendapatkan pahala apa-apa, walau telah merasa lapar dan dahaga.
Sebuah hadits diriwayatkan dari Ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa pun dari puasanya selain lapar dan dahaga. Betapa banyak orang shalat malam yang tidak mendapatkan apa pun dari shalat malamnya selain begadang." [HR. Ibnu `Adi]
Jadi, Anda harus berhati-hati menjaga puasa Anda. Karena dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Tidaklah dinamakan puasa bila (hanya) menahan diri dari makan dan minum. Tetapi yang dinamakan puasa adalah menahan diri dari ucapan yang tidak bermanfaat dan kata-kata kotor." [Menurut Al-Albâni: shahîh]. Jika dalam segala keadaan Anda mesti selalu menjaga lidah, maka pada bulan Ramadhan Anda harus lebih ketat menjaganya.
Demikian juga dengan perilaku berlebihan dalam bergaul. Tujuan bergaul dengan orang lain adalah mewujudkan hal-hal yang bermanfaat untuk manusia. Bergaul dengan orang-orang yang gemar bermain dan bercanda termasuk hal yang sangat berbahaya. Karena orang-orang seperti ini saling tarik menarik satu sama lain kepada kemungkaran, perbuatan kotor, candu dosa, mencuri, zina, merokok, dll. Berteman dengan orang-orang yang shalih merupakan pergaulan yang paling baik, karena akan meminimalisir berbaur dengan orang-orang yang berakhlak rusak.
Pergaulan pada zaman sekarang memiliki makna yang lebih luas daripada pergaulan di zaman dahulu. Sebab pergaulan sekarang dapat dilakukan melalui media-media informasi seperti radio, televisi, (internet), dll., walaupun seseorang berada di dalam kamarnya yang terkunci.
Karena itu, berusahalah Anda untuk selalu memutuskan hubungan dengan media-media perusak selama Ramadhan, supaya Anda dapat berkonsentrasi menekuni ibadah kepada Allah, dan dapat bergaul dengan orang-orang shalih. Karena orang-orang shalih tidak akan menjadikan sengsara rekan pergaulannya, sebagaimana disebutkan oleh Allah tentang seorang pelaku dosa yang duduk bersama orang-orang shalih untuk keperluannya sendiri, padahal ia bukan bagian dari orang-orang shalih itu. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman dalam hadits Qudsi: "Dan untuknya juga (pelaku dosa itu) ampunan-Ku, karena mereka (orang-orang shalih itu) adalah sekelompok kaum yang tidak akan menjadi sengsara orang yang duduk bersama mereka." [HR. Muslim]. Sekedar duduk di mesjid, di tengah orang-orang baik, takwa, dan shalih, sudah menjadi salah satu jalan untuk meraih kebahagiaan dan ampunan Allah.
Tetapi waspadalah, jangan pernah menjadikan mesjid sebagai ajang untuk melakukan perkumpulan yang diharamkan Allah, seperti riya (pamer) dan menceritakan ibadah yang sudah dilakukan, atau mencari ketenaran dan kedudukan di mata manusia. Inilah yang menjadi ancaman bahaya bagi saudara-saudara kita. Yang harus Anda pergauli adalah orang-orang yang mengingatkan Anda kepada Allah, atau Anda dapat mengingatkannya kepada Allah.
Iktikaf adalah kesempatan untuk menyendiri dan melakukan muhâsabah (introspeksi) diri. Karena itu, kita mengatakan perlunya menyediakan waktu khusus untuk mengevaluasi diri kita. "Hitung-hitunglah diri kalian sebelum kalian diperhitungkan (kelak di Akhirat). Timbang-timbanglah amal kalian sebelum nanti ia ditimbang (di Akhirat). Dan berhiaslah untuk menghadapi hari penimbangan amal yang begitu dahsyat."
Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Pada Hari itu, kalian dihadapkan (kepada Tuhan kalian), tiada sesuatu pun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allah)." [QS. Al-Hâqqah: 18]
Allah—Subhânahu wata`âlâ—juga berfirman (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk Hari Esok (Akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan." [QS. Al-Hasyr: 18]
Adapun harta yang berlebih, Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah mensyariatkan kepada kita pada bulan mulia ini infak harta yang wajib dan yang sunnah. Infak yang wajib adalah zakat Fitrah sebagai sarana penyucian bagi seorang yang berpuasa dari perilaku yang tidak bermanfaat dan kata-kata kotor, sekaligus untuk memberi makan kaum fakir miskin. Di samping yang wajib itu, Allah—Subhânahu wata`âlâ—juga mensyariatkan kepada kita sedekah Ramadhan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas ibnu Mâlik, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sedekah yang paling utama adalah sedekah pada bulan Ramadhan." [Menurut Al-Albâni: dha`îf]
Walaupun hadits ini dha`îf, tetapi ia dikuatkan oleh hadits shahîh yang menyebutkan bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—demikian dermawan pada bulan Ramadhan. Juga dikuatkan oleh hadits yang berbunyi: "Barang siapa yang memberi makan orang berpuasa maka ia juga mendapatkan pahala seperti pahala orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahalanya (orang yang berpuasa itu) sedikit pun." [HR. At-Tirmidzi]. Karena itu, Anda harus banyak berinfak, terutama di jalan Allah—`Azza wajalla.
Di antara infak yang disyariatkan di bulan Ramadhan adalah infak harta untuk ibadah Umrah. Karena ada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas ibnu Mâlik, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Umrah pada bulan Ramadan setara dengan (pahala) haji." [HR. Al-Bukhâri dalam kitab At-Târîkh Al-Kabîr]
Umrah pada bulan Ramadhan ini mengumpulkan seluruh bentuk pendidikan dan penyucian nafsu. Tidak usah memikirkan fasilitas umrah yang mewah, tetapi pikirkanlah bagaimana Anda dapat menghancurkan kebiasaan nafsu. Karena umrah pada bulan Ramadhan mengandung makna infak, sebagaimana ia juga mengandung nilai pengendalian syahwat dan keinginan.
Kita memohon kepada Allah agar memberi kita taufik untuk melaksanakan hal-hal yang Dia cintai dan ridhai.
Walhamdulillâhi rabbil `âlamîn.