Oleh: Abdullah ibnu Shalih Al-Qushair
1. Makan dan minum; begitu juga semua yang semakna dengannya, berupa masuknya benda-benda yang mengandung energi dan nutrisi ke dalam perut melalui jalan apa saja, baik mulut, hidung, pembuluh darah, maupun jalan-jalan yang lain, dengan catatan dilakukan dengan sengaja dan atas dasar keinginan sendiri (tanpa paksaan). Semua itu membatalkan puasa berdasarkan firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Dan makan dan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam." [QS. Al-Baqarah: 187]. Juga berdasarkan sabda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—dalam sebuah Hadits Qudsi bahwa Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman tentang orang yang berpuasa, "Ia meninggalkan makan, minum, serta hawa nafsunya karena Aku."
Jadi, puasa adalah meninggalkan semua pekara ini semenjak terbit fajar sampai tenggelam matahari. Siapa yang mengonsumsi salah satu di antaranya dengan sengaja dan berdasarkan pilihan sendiri (tanpa paksaan) berarti tidak berpuasa.
2. Bersetubuh dan semua aktivitas seksual yang mendahuluinya. Hal ini merusak puasa berdasarkan dalil dari Al-Quran, Sunnah, dan kesepakatan para ulama. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kalian." Sampai akhir ayat (yang artinya): "Dan makan dan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam." [QS. Al-Baqarah: 187.]
Ayat di atas menegaskan bahwa orang yang akan berpuasa dibolehkan bersenang-senang (melakukan aktivitas seksual) dengan istri sampai terbit fajar, kemudian ia harus menahan diri dari semua itu sampai datang malam. Apabila seorang suami menyetubuhi istrinya pada siang hari Ramadhân maka puasanya menjadi batal dan ia berstatus tidak berpuasa karenanya. Kemudian ia wajib meng-qadhâ' (mengganti) puasanya yang batal itu sekaligus membayar kafarat, karena ia telah menodai kemuliaan puasa pada bulan Ramadhân.
Para ulama sepakat bahwa seorang suami yang menggauli istrinya pada siang hari bulan Ramadhân wajib meng-qadhâ' puasanya sekaligus membayar kafarat. Kafarat itu ditunaikan secara bertingkat sebagai berikut:
- Membebaskan seorang budak yang beriman;
- Jika tidak sanggup, diganti dengan berpuasa dua bulan berturut-turut;
- Jika tidak sanggup berpuasa dua bulan berturut-turut, diganti dengan memberi makan enam puluh orang miskin, masing-masingnya satu mud, yaitu seperempat shâ`, dari jenis makanan yang sah untuk dijadikan zakat Fitrah. Itu berdasarkan hadits shahîh tentang kisah seorang laki-laki yang datang kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wa sallam—seraya berkata, "Aku telah celaka, aku telah benar-benar mencelakakan diriku." Rasulullah pun bertanya, "Apa yang terjadi dengan dirimu?" Ia menjawab, "Aku menyetubuhi istriku di saat aku berpuasa." Rasulullah lalu bertanya, "Apakah engkau memiliki seorang budak untuk engkau merdekakan?" Laki-laki itu menjawab, "Tidak." Rasulullah bertanya lagi, "Apakah engkau sanggup berpuasa dua bulan berturut-turut?" Laki-laki itu menjawab, "Tidak." Rasulullah bertanya lagi, "Apakah engkau sanggup memberi makan enam puluh orang miskin?" Laki-laki itu kembali menjawab, "Tidak." [Hadits]
Hadits di atas mengandung hukum bahwa jimak (bersetubuh) termasuk dosa besar dan perilaku keji yang membinasakan jika dilakukan oleh yang berpuasa pada siang hari bulan Ramadhân. Alasannya, karena Nabi—Shallallâhu `alaihi wa sallam—tidak membantah perkataan laki-tersebut: "Aku telah celaka." Kalau bukan demikian, pasti Rasulullah akan menghiburnya dengan mengatakan bahwa ia tidak mesti celaka karena perbuatan itu.
3. Keluar mani dalam keadaan sadar. Baik keluarnya disebabkan oleh jimak, ciuman, onani, maupun cara-cara lain yang serupa. Semua itu membatalkan puasa, dan pelakunya diwajibkan meng-qadhâ' puasa tersebut, karena dilakukan dengan sengaja dan tanpa paksaan.
4. Mengeluarkan darah dari tubuh. Misalnya dengan cara berbekam atau cara-cara yang serupa dengan itu. Tindakan ini membatalkan puasa berdasarkan sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wa sallam, "Orang yang membekam dan orang yang dibekam sama-sama batal puasanya."
Imam Ahmad, Imam Al-Bukhâri, dan para ulama hadits yang lain mengomentari hadits ini dengan mengatakan, "Hadits ini adalah hadits yang paling shahîh dalam permasalahan ini.
Hadits ini menegaskan batalnya puasa karena berbekam, dan ini merupakan pendapat kebanyakan fuqaha' ahli hadits, seperti Imam Ahmad, Ishâq, Ibnu Khuzaimah, dan para fuqaha' yang lain. Bahkan dahulu, para fuqaha' kota Bashrah menutup tempat-tempat praktik para ahli bekam.
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah berkata, "Hadits-hadits yang menjelaskan tentang batalnya puasa karena berbekam ini banyak, dan itu telah dijelaskan oleh para imam ahli hadits."
Hal yang serupa hukumnya dengan mengeluarkan darah melalui bekam ini adalah mengeluarkan darah dengan jarum untuk tes darah dan sebagainya, jika darah yang keluar itu sama seperti yang keluar melalui bekam. Begitu juga mengeluarkan darah melalui pembuluh darah, baik untuk donor maupun tujuan-tujuan lain. Karena itu, orang yang berpuasa jika ingin melakukan donor darah hendaklah melakukannya pada malam hari. Jika terpaksa harus melakukan itu di siang hari karena sakit atau menolong orang yang terluka, hendaklah ia berbuka pada hari itu, karena ia termasuk orang yang memiliki uzur (halangan) syar`i. Dan ia harus meng-qadhâ' puasanya tersebut pada hari lain.
5. Muntah dengan sengaja. Yaitu mengeluarkan makanan dan minuman dari perut. Siapa yang melakukan itu secara sengaja diwajibkan meng-qadhâ' puasanya tersebut, karena puasanya dianggap batal dengan tindakan itu. Dalilnya adalah hadits: "Barang siapa yang muntah dengan sengaja diwajibkan meng-qadhâ' puasanya."