Bagaimana hukum orang yang mengetahui kebenaran tetapi tidak mampu mengikutinya karena bertentangan dengan kebiasaannya? Ia menemukan kesulitan untuk mengikuti kebenaran itu, padahal ia mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah salah.
Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Menerima kebenaran setelah mengetahuinya, dan kembali kepadanya setelah terbukti kebenarannya merupakan sebuah perilaku terpuji dan akhlak mulia. Sebaliknya, terus-menerus melakukan kebatilan setelah melihat kebenaran dengan jelas adalah kemaksiatan yang sangat hina dan akhlak tercela. Sikap seperti ini merupakan karakter Iblis dan jalan yang biasa ditempuh oleh setiap pendusta dan pendosa. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Kecelakaan besarlah bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa. Ia mendengar ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya kemudian ia tetap menyombongkan diri seakan-akan tidak mendengarnya. Maka berilah kabar gembira kepadanya dengan azab yang pedih." [QS. Al-Jâtsiyah: 7-8]
Sebuah hadits diriwayatkan dari Ibnu `Umar—Semoga Allah meridhainya, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang berdebat memperjuangkan kebatilan padahal ia mengetahui bahwa hal itu adalah batil, maka ia akan senantiasa berada dalam murka Allah hingga ia berhenti melakukannya." [HR. Abû Dâwûd dan Ahmad]
Terus-menerus bertahan dalam kebatilan akan mendatangkan murka dan kemarahan Allah. Seorang muslim hendaklah merasa takut kepada Allah dan senantiasa menjalankan kebenaran serta kembali kepada Allah sekalipun hal itu membuat ia harus memaksa dirinya dan menundukkan nafsunya. Ia tidak boleh memberikan kesempatan kepada nafsunya untuk mengalahkannya; dan tidak boleh membuka peluang bagi syahwatnya untuk menghancurkan dirinya.
Barang siapa yang jatuh ke dalam suatu kesalahan atau dosa tidak boleh mengangapnya ringan dan remeh, karena sikap seperti ini merupakan perilaku orang-orang jahat. Diriwayatkan dari Ibnu Mas`ud—Semoga Allah meridhainya, bahwa ia berkata, "Sesungguhnya orang mukmin itu melihat dosa-dosanya seakan ia sedang berada di kaki gunung, dan ia khawatir gunung itu akan jatuh menimpanya. Sebaliknya, orang yang durhaka melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya, kemudian ia hanya melakukan begini." [HR. Al-Bukhâri]. Abû Syihâb (perawi) mengatakan, "Ia memberi isyarat dengan (tepisan) tangannya ke atas hidungnya."
Al-Hâfizh Ibnu Hajar mengatakan, "Ibnu Abî Jamrah berkata: 'Dapat diambil pelajaran dari hadis ini bahwa sedikitnya rasa khawatir di dalam hati seorang mukmin terhadap dosa-dosanya dan perasaan bahwa dosa itu adalah sesuatu yang remeh merupakan pertanda kedurhakaannya'."
Manusia tidak tahu kapan ia akan meninggal dunia. Lalu kenapa harus menunda-nunda untuk menerima yang hak dan kembali kepada kebenaran? Semoga Allah mengaruniakan kepada kita bimbingan untuk mentaati-Nya dan memperoleh ridha-Nya.
Wallâhu a`lam.
Anda dapat mencari fatwa melalui banyak pilihan